Iklan Anda

Minggu, 21 Agustus 2011

NAGARAKRETAGAMA #1


Judul asli dari manuskrip ini adalah Desawarnana yang artinya Sejarah Desa-Desa. Sejak ditemukan kembali oleh para arkeolog, naskah ini kemudian dinamakan Nagarakretagama. Judul kakawin ini, Nagarakretagama artinya adalah "Negara dengan Tradisi (Agama) yang suci. Nama Nagarakretagama itu sendiri tidak terdapat dalam kakawin Nagarakretagama. Pada pupuh 94/2, Prapanca menyebut ciptaannya Decawarnana atau uraian tentang desa-desa. Namun, nama yang diberikan oleh pengarangnya tersebut terbukti telah dilupakan oleh umum. Kakawin itu hingga sekarang biasa disebut sebagai Nagarakretagama. Nama Nagarakretagama tercantum pada kolofon terbitan Dr. J.L.A. Brandes: Iti Nagarakretagama Samapta. Rupanya, nama Nagarakretagama adalah tambahan penyalin Arthapamasah pada bulan Kartika tahun saka 1662 (20 Oktober 1740 Masehi). Nagarakretagama disalin dengan huruf Bali di Kancana

Naskah ini selesai ditulis pada bulan Aswina tahun Saka 1287 (September – Oktober 1365 Masehi), penulisnya menggunakan nama samaran Prapanca, berdasarkan hasil analisis kesejarahan yang telah dilakukan diketahui bahwa penulis naskah ini adalah Dang Acarya Nadendra , bekas pembesar urusan agama Budha di istana Majapahit. Beliau adalah putera dari seorang  pejabat istana di Majapahit dengan pangkat jabatan Dharmadyaksa Kasogatan. Penulis naskah ini menyelesaikan naskah kakawin Nagarakretagama diusia senja dalam pertapaan di lereng gunung di sebuah desa bernama Kamalasana.

Kakawin Nagarakretagama terdiri dari 98 pupuh, terdiri atas dua bagian. Bagian pertama dimulai dari pupuh 1 – 49. Sedangkan bagian kedua dimulai dari pupuh 50 – 98.

Teks ini semula dikira hanya terwariskan dalam sebuah naskah tunggal yang diselamatkan oleh J.L.A. Brandes, seorang ahli Sastra Jawa Belanda, yang ikut menyerbu istana Raja Lombok pada tahun 1894. Ketika penyerbuan ini dilaksanakan, para tentara KNIL membakar istana dan Brandes menyelamatkan isi perpustakaan raja yang berisikan ratusan naskah lontar. Salah satunya adalah lontar Nagarakretagama ini. Semua naskah dari Lombok ini dikenal dengan nama lontar-lontar Koleksi Lombok yang sangat termasyhur. Koleksi Lombok disimpan di perpustakaan Universitas Leiden Belanda.

Berikut adalah terjemahan lengkapnya dalam Bahasa Indonesia.

Teks terjemahan bebas Kakawin Nagarakretagama :
(pupuh 1 - 20).

Pupuh 1.

Om! Sembah pujiku orang hina ke bawah telapak kaki pelindung jagat. Siwa-Budha Janma-Bhatara senantiasa tenang tenggelam dalam samadi. Sang Sri Prawatanata, pelindung para miskin, raja adiraja di dunia. Dewa-Bhatara, lebih khayal dari yang khayal, tapi tampak di atas tanah.

Merata serta meresapi segala makhluq, nirguna bagi kaum Wisnawa. Iswara bagi Yogi, Purusa bagi Kapila, Hartawan bagi Jambala. Wagindra dalam segala ilmu, Dewa Asmara di dalam cinta berahi. Dewa Yama di dalam menghilangkan penghalang dan menjamin damai dunia.

Begitulah pujian pujangga penggubah sejarah, kepada Sri Nata Rajasanagara, Sri Nata Wilwatikta yang sedang memegang tampuk Negara bagai titisan Dewa-Bhatara beliau menyapu duka rakyat semua. Tunduk setia segenap bumi Jawa, bahkan malah seluruh Nusantara.

Tahun Saka masa memanah surya (1256) beliau lahir untuk jadi narpati. Selama dalam kandungan di Kahuripan, telah tampak tanda keluhuran Gempa bumi, kepul asap, hujan abu, guruh halilintar menyambar-nyambar. Gunung meletus, gemuruh membunuh durjana, penjahat musnah dari Negara.

Itulah tanda bahwa Bhatara Girinata menjelma bagai raja besar terbukti selama bertahta, seluruh Jawa tunduk menadah perintah. Wipra, ksatria, waisya, sudra, keempat kasta sempurna dalam pengabdian. Durjana berhenti berbuat jahat, takut akan keberanian Sri Nata.


Sabtu, 20 Agustus 2011

NAGARAKRETAGAMA #2


(pupuh 21-40).

Pupuh 21.

Fajar menyingsing: berangkat lagi Baginda melalui Lo Pandak, Ranu Kuning, Balerah, Bare-bare, Dawohan, Kapayeman, Telpak, Baremi, Sapang, serta Kasaduran. Kereta berjalan cepat-cepat menuju Pawijungan.

Menuruni Lurah, melintasi sawah, lari menuju Jaladipa, Talapika, Padali, Ambon dan Panggulan. Langsung ke Payaman, Tepasana ke arah Kota Rembang. Sampai di kemirahan yang letakknya di pantai lautan.

Pupuh 22.

Di Dampar dan Patunjungan, Sri Baginda bercengkrama menyisir tepi lautan. Ke jurusan timur turut pesisir darat, lembut limbur di lintas kereta. Berhenti beliau di tepi danau penuh teratai, tunjung sedang berbunga. Asyik memandang udang berenang dalam air tenang memperlihatkan dasarnya.

Terlangkahi keindahan air telaga yang lambai melambai dengan lautan. Danau ditinggalkan menuju Wedi dan Guntur tersembunyi di tepi jalan. Kasogatan Bajraka termasuk wilayah Taladwaja sejak dulu kala. Seperti juga Patunjungan, akibat perang, belum kembali ke asrama.

Terlintas tempat tersebut, ke timur mengikuti hutan sepanjang tepi lautan. Berhenti di Palumbon, berangkat setelah surya laut. Menyeberangi sungai Rabutlawang yang kebetulan airnya sedang surut. Menuruni lurah Balater menuju pantai lautan, lalu bermalam lagi.

Pada waktu fajar menyingsing, menuju Kunir Basini, di Sadeng bermalam. Malam berganti malam Baginda pesiar menikmati alam Sarampuan. Sepeninggalnya beliau menjelang Kota Bacok bersenang-senang di pantai. Heran memandang karang tersiram riak gelombang berpancar seperti hutan.

Tapi sang rakawi tidak ikut berkunjung di Bacok, pergi menyidat jalan. Dari Sadeng ke utara menjelang Balung, terus menuju Tumbu dan Habet. Galagah, Tampaling, beristirahatlah di Renes seraya menanti Baginda. Segera berjumpa lagi dalam perjalanan ke Jayakreta – Wanagriya.

Pupuh 23.

Melalui Doni Bontong, Puruhan, Bacek, Pakisaji, Padangan terus ke Secang. Terlintas Jati Gumelar, Silabango. Ke utara ke Dewa Rame dan Dukun.

Lalu berangkat ke Pakembangan. Di situ bermalam; segera berangkat. Sampailah beliau ke ujung lurah Daya. Yang segera dituruni sampai jurang.

Jumat, 19 Agustus 2011

NAGARAKRETAGAMA #3


(pupuh 41-98).

Pupuh 41.

Bhatara Anusapati, putera Baginda, berganti dalam kekuasaan. Selama pemerintahannya, tanah Jawa kokoh sentosa, bersembah bakti. Tahun Saka Perhiasan Gunung Sambu (1170) beliau pulang ke Siwaloka. Cahaya beliau diwujudkan arca Siwa gemilang di candi makam Kidal.

Bhatara Wisnuwardhana, putera Baginda, berganti dalam kekuasaan. Beserta Narasinga bagai Madawa dengan Indra memerintah serta segenap pengikutnya. Takut semua musuh kepada beliau, sungguh titisan Siwa di Bumi.

Tahun Saka Rasa Gunung Bulan (1176) Bhatara Wisnu menobatkan puteranya. Segenap rakyat Kediri Janggala berduyun-duyun ke pura mangastubagia.

Raja Kertanegara nama gelarannya, tetap demikian seterusnya. Daerah Kutaraja bertambah makmur, berganti nama Praja Singasari.

Tahun Saka Awan Sembilan Mengebumikan Tanah (1192) raja Wisnu berpulang. Dicandikan di Waleri berlambang arca Siwa, di Jajago arca Budha. Sementara itu Bhatara Narasingamurti pun pulang ke Surapada. Dicandikan di Wengker, di Kumeper  diarcakan bagai Siwa Mahadewa.

Tersebutlah Sri Baginda Kertanegara membinasakan perusuh penjahat. Bernama Cayaraja, musnah pada tahun Saka naga mengalahkan bulan (1192). Tahun Saka naga bermuka rupa (1197) Baginda menyuruh menundukkan Melayu. Berharap Melayu takut kedewaan beliau tunduk begitu sahaja.

Pupuh 42.

Tahun Saka janma suny surya (1202) Baginda raja memberantas penjahat Mahisa Rangga, karena jahat tingkahnya dibenci seluruh Negara. Tahun Saka badan langit surya (1206) mengirim utusan menghancurkan Bali. Setelah kalah rajanya menghadap Baginda sebagai seorang tawanan.

Begitulah dari empat penjuru orang lari berlindung dibawah Baginda. Seluruh Pahang, segenap Melayu tunduk menekur dihadapan beliau. Seluruh Gurun, segenap Bakulapura lari mencari perlindungan. Sunda Madura tak perlu dikatakan, sebab sudah terang setanah Jawa.

Jauh dari tingkah alpa dan congkak, Baginda waspada tawakal dan bijak. Faham akan segala seluk beluk pemerintahan sejak zaman Kali. Karenanya, tawakal dalam agama dan tapa untuk teguhnya ajaran Budha. Menganut jejak para leluhur demi keselamatan seluruh praja.


Kamis, 11 Agustus 2011

ALQURAN KUNO BERUSIA 77 TAHUN DITEMUKAN DI MUSEUM RADYA PUSTAKA


Berbahasa Belanda, Ada Jejak Ahmadiyah di Sampulnya

Selama puluhan tahun, Alquran kuno baru ditemukan di Museum Radya Pustaka, Solo. Alquran tua itu, terindikasi ada jejak Ahmadiyah masuk Indonesia sudah lama, karena ada bukti di sampulnya.
 
-----------------------------------------------------------------------------

Pria paruh baya, berkemeja batik itu, membukakan sebuah kitab kuno di museum Radya Pustaka, Solo, Kamis (4/8) siang. Dengan hati-hati, Sandjata, pria yang menjabat Ketua Komite Museum Radya Pustaka itu membuka lembar demi lembar kitab itu agar tidak rusak.

Di dalamnya, terlihat dua tulisan dengan aksara asing. Satunya aksara berbahasa Belanda, di sampingnya berbahasa Arab. Kitab kuno itu ternyata, Alquran dengan terjemahan bahasa Belanda.

Ketika dibuka, Alquran berbahasa Belanda ini dibuat tahun 1934 dengan tulisan De Heilige Qoer-an. Koleksi Alquran kuno ini, hanya ada satu di museum Radya Pustaka dengan kode koleksi 666. Entah sejak kapan, Alquran kuno itu tersimpan di Museum Radya Pustaka, karena pihak pengelolanya sendiri tidak mengetahuinya.

Kondisi Alquran itu secara umum masih bagus, hanya beberapa halaman di dalamnya sudah terlepas. Warna kertasnya kuning agak kecokelatan. Ketua Komite Museum Radya Pustaka, Sandjata, tidak bisa menjelaskan secara rinci, kapan Alquran tua itu masuk ke museum dan siapa yang membawanya.

Karena, kitab suci umat muslim itu, baru ditemukan tahun 2009 lalu oleh mahasiswa Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS) yang sedang menjalankan tugas Praktik Kuliah Lapangan (PKL) di museum. Penemuannya pun tidak sengaja, karena kitab suci berusia 77 tahun itu, awal ditemukan di gudang.

”Susah menjelaskan kapan kitab itu masuk ke sini. Mungkin saja kitab itu dibawa orang Belanda, karena bangunan museum ini dulunya bangunan Belanda,” kata Sandjata, kemarin.

Ada yang aneh, pada sampul bagian dalam pada Alquran kuno itu. Pada sampul dalam tertulis ”Hielige Qoer-an, van Maulwi Moehammad Ali MA LLB”. Yang mengejutkan, ada kata-kata yang menunjukkan jejak Ahmadiyah di halaman itu. Jejak itu terbaca, persis di bawah nama van Maulwi Moehammad Ali MA LLB. Tulisannya adalah ”Voorziter Ahmedijah Andjoeman-Isjaat-I-Islam, Lahore, Voor-Indie.”

Tidak jauh dari kata-kata yang menunjukkan jejak Ahmadiyah, ada lagi tulisan ”Uitgegeven Door: Het Hoofdcomite Qoer-Anfonds Onder de Auspicien Van de Ahamadijah Beweging Indonesia (Centrum Lahore) 1934.”


Kurang Dana, Ratusan Manuskrip di Museum Sribaduga Tak Terawat

Sebanyak seratus lebih naskah kuno yang dimiliki oleh Museum Sribaduga belum terawat dengan baik akibat kekurangan dana,  sejak diberlakukannya otonomi daerah. Ongkos ideal perawatan naskah kuno itu mencapai puluhan juta rupiah, untuk jenis naskah yang tidak terlalu tebal. Menurut Pamong Budaya Madya Pembinaan dan Pengelolaan Naskah Kuno Museum Sribaduga, Sri Mulyati saat ini Museum Sribaduga hanya bisa melakukan perawatan ala kadarnya. Dari seratus lebih naskah kuno yang perwatannya kurang itu, empat puluhan naskah bermaterikan tentang agama Islam yang ditulis dengan huruf Arab Pegon.

“Tapi pegon itu bahasanya bahasa daerah. Misalkan bahasanya bahasa Jawa, Sunda, Madura, bahasa apa dia menggunakan aksara arab disebut aksara arab pegon. Kalau jumlahnya itu diperkirakan kalau yang arab itu mungkin ada sekitar, secara kumulatif mungkin sebanyak dua puluh lima persen."

Pamong Budaya Madya Pembinaan dan Pengelolaan Naskah Kuno Museum Sribaduga, Sri Mulyati mengatakan saat ini untuk menjaga keberadaan koleksi naskah kuno yaitu dengan menyimpannya di ruangan bertemperatur khusus. Selain itu, juga melakukan digitalilasi materi naskah kuno.Dia menambahkan kurangnya ongkos pemeliharaan koleksi naskah kuno di Museum Sribaduga, menyebabkan sejumlah naskah dan barang seni rupa bersejarah terancam rusak.


Sumber : KBR68H.

NASKAH BERUSIA 400 TAHUN DITEMUKAN DI PAMEKASAN

Kitab Bahrul Lahut di Pesantren Pamekasan.
Naskah kuno dari kitab Bahrul Lahut karya ulama Indonesia, ditemukan di Pamekasan, Madura, Jawa Timur. Kitab yang ditulis tangan itu ditemukan tim peneliti dari Balai Litbang Kantor Kementerian Agama Semarang di Pondok Pesantren Sumber Anyar, Desa Larangan Tokol, Kecamatan Tlanakan, Pamekasan.

“Kalau dilihat dari kertasnya, kitab ini diperkirakan ditulis sekira abad ke-17,” ungkap Umi Masfiah, salah seorang peneliti naskah kitab kuno di pesantren itu.

Kondisi kitab karya ulama asal Aceh itu sebagian sudah tidak utuh lagi dan banyak yang berlubang karena dimakan rayap. Ada sekira 80 eksemplar naskah kuno yang ada di Pesantren Sumber Anyar, semuanya ditulis dengan tangan.

“Kalau jenis kitabnya ada sekira 120, dalam satu bagian ada yang terdiri dari lebih dari satu kitab,” kata Ketua Pengurus Perpustakaan Sejarah Pesantren Sumber Anyar, Kholis.

Kitab Bahrul Lahut membahas tentang filsafat Ketuhanan di antara kitab dalam naskah-naskah kuno yang ada di perpustakaan itu. “Bahrul Lahut itu artinya samudera Ketuhanan,” terang Kholis.

Kitab ini sempat diklaim sebagai karya ulama Malaysia, karena menggunakan bahasa Melayu. Namun kitab ini sebenarnya buah karya ulama Indonesia asal Aceh.

Selain Bahrul Lahut juga ditemukan naskah kitab kuno karya intelektual muslim, Ibnu Arabi berjudul Tuhfatul Mursalah dan Kitabul Waqad atau ilmu astronomi.

Salah satu isi kitab astronomi yang berbahasa Arab ini menjelaskan tentang peredaran bumi, bulan, dan matahari.

Menurut koordinator tim peneliti Balai Litbang Kemenang Semarang Zainul Atfal penelitian naskah kuno ini dilakukan untuk mendalami khazanah ilmu keagamaan di Indonesia.

“Kami memilih pesantren ini sebagai lokasi penelitian karena untuk sementara, naskah kuno terbanyak berada di pesantren ini,” ucap Zainul.

Naskah kuno ditulis di kertas yang terbuat dari kulit kayu dan menggunakan tinta dari daun mimbo. Sebagian lainnya ada yang dibuat menggunakan kertas Eropa. Hal ini dimungkinkan karena naskah-naskah tersebut ditulis dan dicetak di Eropa pada masa itu.

Ini dibuktikan dengan adanya gambar transparan di tengah kertas yang menunjukkan kapan, di mana, serta menggunakan kertas apa naskah-naskah itu ditulis dan dicetak.





Sumber : Okezone.com

PERADABAN JAWA KUNO DI MUSEUM KAILASA

Ilustrasi  Candi di Kawasan  Dieng. Sumber Internet

Benda-benda religius memiliki daya tarik tersendiri bagi sebagian orang. Salah satu tempat benda religius adalah Museum Kailasa Dieng. Di museum ini Anda bisa melacak peradaban Hindu Jawa kuno pada abad ke-7 dan 8 masehi.


Terletak di Gedung Arca Senyawa dan merupakan milik Badan Konservasi Jawa Tengah di Dieng, kecamatan Batur, kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah.


Di kawasan Dieng, Anda juga bisa melihat pemandangan yang indah dan merasakan udara dingin karena dataran tinggi Dieng tidak hanya terkenal dengan peradaban kunonya, tetapi juga pemandangannya yang indah dan alami.


Secara historis, Dieng adalah sebuah situs ritual untuk pengikut agama Hindu. Sampai dengan saat ini, 22 naskah Jawa kuno bercerita tentang Dieng sebagai pusat kegiatan keagamaan. Di sini, Anda juga bisa melihat candi yang berada di dekat Museum.


Ada yang mengatakan bahwa nama candi tersebut diambil dari nama-nama tokoh dalam cerita Mahabarata seperti Arjuna, Bima, kelompok Candi Setyaki, Gatot Kaca, Dwarawati, Sembadra, Kunti, dan Srikandi. Selain candi, Anda juga bisa menemukan patung-patung longgar dekat kompleks candi Dieng seperti Arca Nandi (banteng), simbol Siva dan Mahaguru.


Saat memasuki museum, Anda akan melihat patung-patung antik Dieng. Setelah itu, Anda bisa menaiki tangga ke ruang informasi di mana Anda bisa mendapatkan informasi sebanyak mungkin, seperti sejarah dataran tinggi Dieng dan candi-candinya.


Beberapa panel memberikan informasi tentang kehidupan penduduk setempat mulai dari menceritakan tentang gaya hidup dan pertanian mereka,  informasi tentang masjid lokal, mushola, seni, dan mitos anak bajang. Panel lain menyediakan informasi lebih lanjut tentang dataran tinggi Dieng sebagai pusat kegiatan ritual Hindu dan candi-candi sekitarnya. Dieng diambil dari kata "Di" yang berarti gunung, dan "Hyang" yang berarti Tuhan. Dengan demikian, Dieng berarti gunung tempat tinggal Dewa.


Museum Kailasa diambil dari sebuah nama prasasti yang berarti sebuah gunung yang suci. Museum ini diresmikan oleh Menteri Pariwisata, Jero Wacik, pada tahun 2008. Museum ini dibangun untuk memberikan informasi tentang dataran tinggi Dieng.



Sumber : http://travel.okezone.com

Minggu, 07 Agustus 2011

MULABUKANE DESA POHKUMBANG, KEC. KARANGANYAR

Dek jaman biyen, ana ing sawijining alas ana padhepokan papan dununge pandhita tua kang sekti lan sugih kabisan, tindak-tanduke wicaksana lan sinuyud dening tiyang akathah. Pandhita mau kagungan cantrik utawa murid kinasih kang bagus rupane katelah nama TAKALAN. Takalan mujudake pamuda kang alus bebudene lan seneng tetulung marang wong kang mbutuhake. Ya awit saka bebudene lan tindak-tanduke kang luhur mau, andadekake Takalan minangka murid kinasih lan ditresnani dening gurune kayadene putrane dhewe.

Ana ing sawijining dina, pandhita sekti  mau mrentahake menyang Takalan supaya mudhun saka partapan, saprelu ngamalake sawernaning ngelmu kang wis ditampa dening Takalan sasuwene cumondhok ana ing papan iku. Sadurunge budhal, Takalan nampa wejangan saka gurune kang wicaksana supaya Takalan migunakake ngelmune kanggo tetulung tumrap wong-wong kang mbutuhake.

“Den elinga Takalan, apa kang wus kok tampa ana ing padhepokan kene, aja banjur kok gunakake kanggo tumindak deksiya marang sapadha-padha titah, nanging kogunakake kanggo tetulung tumrap wong kang mbutuhake”, mangkana pangandikane gurune kang pungkasan nalika nguntapake Takalan.

“Inggih ngestokake dhawuh, Bapa!”



----- #ana candhake.

Sabtu, 06 Agustus 2011

DUMADINE DESA CLAPAR, KEC. KARANGGAYAM (jangkep)


Carita dumadine Desa Clapar, wewengkon Kecamatan Karanggayam, Kab. Kebumen miturut wong-wong tuwa ana kana kaya mangkene :
Ilustrasi Tanaman Tembakau yang Tumbuh Subur di Kec. Karanggayam

Diwiwiti nalika taun 1647 ana ing Kraton Mataram (Nalika samana kang mrentah ana ing Mataram yaiku Kangjeng Susuhunan Amangkurat I) ana perang rebut nagara, salah siji Pangeran kang melu ambalela yaiku Pangeran Alit rayine Kangjeng Susuhunan Amangkurat I, prastawa iki dumadi sadurunge ana ontran-ontran Trunajayan. Nalika samana pangamuke Pangeran Alit nggegirisi andadekake akeh padhusunan kang rusak bosah baseh, kalebu 12 dhusun kang salah sijine disesepuhi dening Kyai Lurah Wanaita. Akeh para patinggi desa kang nalika samana kamiweden amarga saka pangamuke Pangeran Alit mau banjur lunga ngoncati babaya golek slamet dhewe-dhewe.

Nalika kuwi Kyai Lurah Wanaita uga oncat lan mlayu golek slamet, nganti tekan sawijining alas kang banjur dibabat didadekake padhusunan. Suwe-suwe papan mau dadi rame, akeh wong-wong saka desa liya kang manggon ana kana. Awit para warga padhusunan mau racake/akeh-akehe nyambut gawe olah tetanen lan nyebar winih sawernaning tetanduran, mula desa anyar mau banjur katelah nama desa PAWINIHAN.

Desa  Pawinihan kalakon dadi desa kang reja, kabeh tetuwuhan bisa thukul ana kana. Nuju sawijining dina Desa Pawinihan ketaman sawijining penyakit kang mbebayani kang disebabake dening para lalembut utawa siluman. Wong-wong nalika samana ngarani prastawa mau PAGEBLUG. Esuk nandang lara, banjur sore utawa wengi wis tumeka ing pati. Sore utawa wengi ketaman lara, isuk banjur mati. Nganti warga ana kana meh entek ketaman penyakit mau utawa dipangan dening para danyang utawa lalembut kang ngreridhu desa Pawinihan.

Nusantara nalika samana pancen lagi akeh prakara, awit saka panjajahan Walanda. Ana sawijining paraga kang nduweni kekendelan ambalela marang Walanda yakuwi Untung Surapati kang mengkone ana sesambungane karo dumadine Desa Clapar. Miturut carita wiwitane Untung Surapati ambalela menyang Walanda kaya mangkene :
Nalika jaman samana ana ing Batawiyah utawa Betawi ana bocah umur 7 taun kang ora dimangerteni sapa jeneng asline, bocah mau minangka budak belian kang asale saka Bali lan ditemukake dening Kapiten Van Beber (prawira VOC) nalika ngayahi tugas ana Makassar, Sulawesi Kidul. Kapiten mau banjur ngedol bocal mau menyang prawira VOC liyane yaiku Kapiten Mur amarga kakurangan beaya. Wiwit nalika bocah mau dadi andhahane, karir utawa pangkat lan kasugihane prawira Walanda mau saya mudhak cepet banget. Kapiten Mur nganggep manawa bocah kang ditemokake mau kang menehi ‘kauntungan’ tumrap uripe, sahingga bocah mau banjur dijenengi Untung.
Kapiten Mur duda kagungan putri siji kang umur-umurane padha karo Untung. Jenenge bocah wadon mau Suzanne. Kapiten Mur nenuku Untung supaya anake wadon mau kang wis piatu ditinggal ibune ana sing ngancani kanggo dolanan lan guyon saben dinane. Untung bocah kang pinter srawung, sahingga ora nganti suwe bisa tepung rumaket banget karo Suzanne. Wiwit saka dina iku, bocah sakloron tansah runtang-runtung bebarengan, nalika swasana seneng apadene susah. Sesambungan kang cedhak mau pungkasane nuwuhake winih tresna antarane untung karo Suzanne, nganti bocah loro mau bener-bener ana sesambungan tresna tanpa dimangerteni dening wong tuwane Suzanne utawa kapiten Mur.  

Rabu, 03 Agustus 2011

LEGENDA WATU CEGER , WEWENGKON DESA KAJORAN KEC. KARANGGAYAM.


Wewengkon kecamatan Karanggayam mujudake dhaerah kang saperangan wujud pagununungan/pareden, kalebu ing tlatah Kabupaten Kebumen sisih lor.

Ana ing Desa Kajoran ana sawijing carita kang gawe eram, yaiku dumadine watu kang diarani WATU CEGER’.

Caritane mangkene :

Nalika jaman samana ana ing dhusun Kewao, Desa Karanggayam durung ana gunung sing gedhe. Sahingga andadekake para dewa duwe krenteg kepiye carane bisane ana gunung gedhe bisa manggon ana padhukuhan kana. Suwening suwe para dewa nganakake parepatan, ngrembug bab anggone arep gawe gunung gedhe ana desa kana. Mupakating para dewa banjur sarujuk menawa dina iku uga arep dileksanakake anggone arep gawe gunung.

Wiwit saka watu-watu kang gedhe banget diangkut/ digawa dening para dewa mau. Kang gawe eram anggone nggawa watu-watu mau ora nggunakake piranti kang samestine nanging nggunakake kayu sing diarani kayu tepus. Kayu tepus iki wujude kayadene wit laos nanging kayu tepus kang digunakake dening para dewa mau kayu tepus kang ukurane gedhe.

Nalika para dewa lagi sengkut anggone nyambut gawe nggawa watu-watu gedhe mau, dumadakan padha sanalika kaget amarga ngepasi meh wektune gagatrahina kira-kira jam 3 isuk wis ana salah siji warga desa kang tangi lan makarya kaya biasane yakuwi nenun lawe/benang sing digawe saka kapas. Amarga para dewa mau wedi kadenangan warga sing wis tangi mau, mula anggone nyambut gawe ngangkuti watu-watu gedhe mau ora dibacutake maneh. Banjur ngumpulake piranti sing dianggo kanggo nyambut gawe mau dadi siji, lan bali menyang kahyangan dene watu gedhe sing lagi digawa lan mapan ana ing satengahnig kali di tinggal semprung ngono bae.

Jumat, 29 Juli 2011

BABAD KEBUMEN (1)

  •  Nyariyosaken mulabukanipun ingkang cikalbakal ing Kebumen.
  •  Babon kagunganipun Kangjeng Raden Harya Hadipati Danurejo ingkang kaping VI, Papatih Dalem ing Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat Ingkang akiripun asma Kangjeng Pangeran Harya Cakraningrat.
  •  Cetakan Kapisan 1953.

Kacariyos ing Nagari Mataram, nalika ingkang jumeneng Nata Ingkang Sinuwun Kangjeng Susuhunan Prabu Mangkuat Agung, (Sinuwun sumare Tegalarum), Ingkang Sinuwun wau pangastaning pangadilan kirang adil, sarta boten pisan sarembag kaliyan Sang Nindyamantri tuwin para Nayaka,, ingkang tinanggenah anginger lampah jantraning praja. Boten kirang para Santana, abdi tuwin kawula Dalem ingkang sami nampi pidana ingkang boten satimbang kaliyan kalepatanipun.

Rekyana Patih tuwin para Nayaka, punapadene ingkang paman Kangjeng pangeran Bumidirja ingkang minangka paranpara, ugi sampun sami ngunjuki pamrayogi dateng Ingkang Sinuwun, ingkang wosipun Nagari badhe manggih reretu bilih kirang adil pangastaning kukum angger-anggering praja. Ananging Ingkang Sinuwun boten karsa manggalih sadaya pamrayogi ingkang sae wau. Ingkang paman Kangjeng Pangeran Bumidirja wola-wali nyaosi pamrayogi, Ingkang Sinuwun kalintu serep, lajeng tuwuh dudukanipun, ngantos kawiyos pangandika Dalem, ingkang nawung suraos anundung ingkang paman Kangjeng Pangeran Bumidirja. Sang Pangeran taksih saged nyabili nyabaraken panggalih, rumaos dados sepuh, ingkang kedah rumeksa kasugenganipun Sang Prabu, kaliyan nyarantosaken bokbilih ing tembe wuri Ingkang Sinuwun enget ing panggalih, bilih jenenging Ratu punika wawakilipun ingkang Maha Kuwasa, ingkang kedah ngayomi kawilujenganing kawula sadaya.

 Ananging Ingkang Sinuwun Kangjeng Susuhunan, lestantun boten ngengeti ingkang makaten wau. Malah-malah Pangeran Pekik, ingkang margi saking saking kapeksa nindakaken kuwajiban murih karahayoning samudayanipun, sanadyan panindak makaten wau sakalangkung sae lan mikantuki, hewadene boten andadosaken keparenging karsa Dalem Ingkang Sinuwun, temahan Pangeran Pekik katetepaken dosa ing Panjenengan Ratu, kapatrapan ukum kisas kaketok utamangganipun. Ing mangka Pangeran Pekik wau ageng sanget lalabetanipun, anggenipun ngrebat wangsul tanah Surabaya, sarta amikut Sunan Giri, margi anggenipun ambalela ing Mataram.

Kangjeng Pangeran Bumidirja murinani sanget sedanipun Pangeran Pekik, sirna kasabaraning nggalih, punapadene boten kikilapan bilih Nagari Mataram badhe kadhatengan bebendu. Pupuntoning nggalih Kangjeng Pangeran Bumidirja sumedya lolos saking praja, sarta nglugas raga nilar kaluhuran, kawibawan tuwin kamulyanipun.

Tindakipun Sang Pangeran sakaliyan garwa, kadherekaken abdi titiga ingkang kinasih. Gancaring cariyos tindakipun wau sampun dumugi tanah Panjer ing secelakipun Lepen Lukula. Ing ngriku pasitenipun sae lan waradin, toyanipun tumumpang, nanging taksih wujud wana tarataban.

Wana tarataban sacelaking lepan Lukula wau lajeng kabukak kadadosaken pasabinan lan pategilan, sarta pakawisan ingkang badhe dipun degi padaleman. Pambukaking mbaka sakedhik, margi ing ngriku dereng dipun dunungi tiyang, dados namung katandangan dening Kangjeng Pangeran piyambak kaliyan abdinipun titiga bektan saking Mataram.

Kangjeng Pangeran Bumidirja lajeng dedepok wonten ing ngriku, sarta karsa mbucal asma lan sesebutanipun, lajeng gantos nama Kyai Bumi, prelunipun saged nyekecakaken pasrawunganipun kaliyan titiyang padhusunan ing sakiwa tengenipun ngriku. Punapadene sampun ngantos sisingidanipun wau katupiksan saking Nagari Mataram. Mila Kyai Bumi nglugas sarira gesang miturut satataning tiyang padhusunan. Yen siyang mbukak wana yen ndalu ngagengaken pujabratanipun, tansah samadi ening nunuwun ing Pangeran karahayoning lalampahan.

Dumadakan kathah titiyang saking dhusun sanes sami dhateng mriku sumedya ndherek babad, sasat namung wuwulanan kemawon ing ngriku sampun dados padhusunan. Sarehning ingkang cikal bakal ing ngriku nama Kyai Bumi, mila ing ngriku lajeng kanamakaken dhusun Kabumen, lami lami nama Kabumen mingsed mungel Kebumen.

Dhusun Kebumen tutrukanipun Kyai Bumi wau ujuripun mangidul urut sapinggiring lepen Lukula, udakawis sampun wonten 3 pal, dene alangipun mangetan udakawis wonten ½ pal.


Kamis, 28 Juli 2011

BABAD KEBUMEN (2)


Kacariyos dhusun-dhusun wau, namanipun ugi sami kasantunan miturut nama-nama pakenipun Jaka Sangkrip. (Namaning dhusun-dhusun wau saingga sapriki taksih tetep boten ewah).

Jaka Sangkrip nglajengaken lamapahipun mangilen dumugi ing Karangbolong. Ing Karangbolong ngriku kacariyos papan panggenaning para dhemit, setan, peri-perayangan. Jaka Sangkrip manggih guwa lajeng dipun lebeti, inggih ing ngriku punika ingkang nama guwa menganti, kahyanganipun ratuning dhedhemit nama Kyai Kreta. Jaka Sangkrip mati raga wonten ing ngriku, sareng sampun angsal 7 dinten 7 ndalu, kagodha para dhemit, Jaka Sangkrip panggah tan mobah mosik, cabaring gogodha Kyai Kreta dhateng kaliyan nyukani cemeti, ageng kasiyatipun, boten kenging kasor yen mengsah kaliyan sasamining manungsa. Kyai Kreta lajeng mangsit sadaya kawontenan ingkang badhe linampahan.Jaka Sangkrip langkung suka, saha atur sanget ing panarimanipun, Kyai Kreta sampun boten katingal saking pandulunipun Jaka Sangkrip.

Jaka Sangkrip tumunten medal saking guwa nedya dhateng wana Moros kados wangsitipun KyaiKreta, lampahipun mangetan, ugi sampun dumugi papan ingkang sinedya. Ing Moros punika wana greng gung liwang-liwung, angkeripun ngudubilahi, jalma mara, jalma mati, nanging Jaka Sangkrip boten gigrig sarambut. Jaka Sangkrip sampun wonten satengahing wana, milang-miling ngupadosi papan ingkang kawangsitaken Kyai Kreta, boten dangu pinanggih, lajeng kendel, ing wektu punika sampun ngajengaken wanci sandyakala suruping Hyang Surya.

Senin, 25 Juli 2011

WASPADA, MALAYSIA INCAR BUDAYA KERINCI !

Ilustrasi Upacara Adat Perkawinan. Sumber Internnet

JAMBI, KOMPAS.com — Budayawan Jambi asal Kerinci, Nukman SS, mengatakan, kebudayaan dan sko (sistem matrilineal dalam upacara adat Kerinci) saat ini ibarat "gadis cantik" yang tengah diincar oleh asing, khususnya oleh Pemerintah Diraja Malaysia.

"Saya melihat ada gelagat tidak tulus dari berbagai kepedulian terhadap pemeliharaan Kebudayaan Kerinci yang dilakukan Pemerintah Diraja Malaysia belakangan ini. Boleh saja kita katakan mereka saat ini tengah mengincar kebudayaan dan sko Kerinci untuk diklaim," kata budayawan Jambi asal Kerinci, Nukman SS, saat dihubungi di Jambi.

Gelagat itu, tambah Nukman, sebenarnya sudah terbaca jauh-jauh hari ketika semenjak awal 1990-an, peneliti-peneliti dari Malaysia mulai berdatangan dan didatangkan ke Kerinci membawa misi riset budaya. Hingga saat ini, Kerinci masih menjadi obyek riset budaya yang dominan oleh para peneliti negeri jiran tersebut.

Gebrakan Awal Manassa Jatim Pamerkan Koleksi Naskah Kuno di Qatar

SURABAYA, LICom: Naskah kuno bukanlah benda mati. Melainkan, naskah kuno merupakan sumber penting sejarah untuk merekonstruksi pemahaman tentang masa lalu. Saat ini, kajian-kajian tentang naskah kuno sudah menjadi rutinitas di berbagai kampus dunia, seperti Universitas Oxford dan Universitas Cambridge, Inggris. Rencananya, Pemerintah Qatar akan menggelar pameran naskah kuno dari berbagai belahan dunia pada bulan Oktober 2011. Undangan pun sudah disebar, termasuk akan undangan memajang naskah-naskah kuno temuan di Jawa Timur.

Persiapan pun sudah dilakukan oleh Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) Cabang Jawa Timur. Sejumlah naskah kuno yang berumur ratusan tahun sudah dipersiapkan untuk tampil dalam pameran Qatar nanti.

Pakar filologi (naskah kuno) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel Amiq Ahyad PhD menyebutkan bahwa pihaknya sedang mendata berbagai naskah kuno untuk dipamerkan. ''Kami sudah menelusuri keberadaan naskah kuno di Jatim ini sejak tahun 2001. Kami menemukan berbagai naskah kuno itu di Malang, Tuban, Blitar, Ngawi, Ponorogo dan Bojonegoro,'' urai Sekretaris Manassa Jatim ini.

Saat ini, sudah terdata sekitar 250 naskah kuno asal Jatim yang siap dipamerkan di Doha, Qatar. Seluruh naskah kuno itu sudah terdigitalisasi, meski nanti yang akan dipamerkan adalah naskah kuno asli. Kondisi naskah kuno itu sudah agak lapuk dan rentan karena bahan yang sudah lama tersimpan.

''Kami harus hati-hati jika hendak membuka naskah-naskah kuno itu. Bahkan untuk merawatnya juga ekstra hati-hati. Tidak sembarang orang bisa melakukan perawatan maksimal pada naskah kuno itu, ada ilmu tersendiri,'' ungkap dia.

Disinggung peran pemerintah untuk perawatan naskah-naskah kuno tersebut, peraih gelar doktor dari Universitas Leiden ini menjelaskan bahwa perawatan itu umumnya dilakukan mandiri. Anggaran pemerintah biasanya ditujukan kepada perawatan museum, sedangkan untuk naskah kuno lebih banyak dilakukan  perawatan secara mandiri.

Sumber : rud http://lensaindonesia.com/

TEMBANG MERAPI MASA LALU

Letusan Gunung Merapi hampir serupa kejadiannya dengan letusan yang terjadi tahun 1822. Babad Ngayogyakarta mengisahkannya dalam keindahan tembang sinom. Diceritakan , letusan Merapi selama tiga bulan diikuti letusan di Gunung Bromo, Kelud, Slamet, dan Guntur.

Salelebete tigang warsa, wusnya murup Ardi Mrapi. Tumunten ing Ardi Brama, Redi Kelut genti muni, tri Gunung Slamet muni, kang sekawan Redi Guntur. Pating jeglug swaranya. Punika kang mertandhani, badhe hoyag wong sanagri Pulo Jawa…”

Naskah kuno Babad Ngayogyakarta mencatat, letusan Gunung Merapi itu pada 30 Juni 1822. Letusan Gunung Merapi terjadi sebelum pecahnya Perang Diponegoro (1825-1830). Babad Ngayogyakarta menyebut, letusan itu tanda akan terjadi kerusakan negara yang diikuti perang besar di Yogyakarta.

Letusan kala itu dirasakan penduduk Pulau Jawa karena kerasnya suara letusan dan panasnya lelehan lava. Kisah letusan Gunung Merapi tercatat dalam tiga bait naskah Babad Ngayogyakarta koleksi Museum Sonobudoyo, yang saat ini diteliti peneliti di Perpustakaan Pura Pakualaman.

BABAD ARUNGBINANG Versi Gancaran Berhuruf Latin.

Ki Mangoensoeparto, Bale Pustaka, Batavia-C, 1937.


 I.    LELAMPAHAN PANGERAN BUMIDIRJA.

Purwakaning cariyos sasurudipun Kangjeng Sultan Agung Anyakrakusuma ing Mataram, putra Pangeran Adipati Anom sumilih jumeneng nata jujuluk Sinuhun Mangkurat.

Kacariyos pangastaning paprentahan (praja) kirang jejeg, dhawahing ukuman kirang adil. Kathah kemawon para kawula tampi pidana ingkang boten timbang kaliyan dosanipun.

Ingkang paman Pangeran Bumidirja kerep atur pepenget dhumateng ingkang Sinuhun, nanging boten kagalih babar pisan, malah nuwuhaken duduka. Ing sarehning Pangeran Bumidirja punika : sapisan ngeman sudaning kaluhuran dalem nata, kaping kalih welas dhateng para kawula alit mila kekencenganing penggalih ingkang sae linggar saking praja ing pangangkah sampun ngantos ngawuningani lelampahan ingkang boten cocog kaliyan panggalihipun. Panguneg-uneging panggalih ingkang makaten wau lajeng kawiyos dumateng ingkang garwa.

Sarehning kresanipun Kangjeng Pangeran wau menggah tosan sampun boten kenging dipunluk, pramila ingang garwa wontenipun namung ndherek punapa ingkang dados kresanipun Kangjeng Pangeran. Ing satunggaling dalu Kangjeng Pangeran estu lolos  saking praja nilar kaluhuran tuwin kawibawan, anamur kawula hamung kadherekaken ingkang garwa. Tindakipun saking kraton Mataram mangilen terus, boten ngetang bebayaning margi.

Enggaling cariyos tindakipun priyagung wau sampun dumugi ing tlatahipun tanah Bagelen. Ing ngriku kapethuk tiyang awon nama Jasamudra lan Trunasamudra, sedyanipun badhe begal. Sarehning penggalipun kangjeng Pangeran punika ber, pramila begal pinaringan arta kathahipun kalih semat (ringgit). Nanging pun begal boten narimah nedya nuwun sadaya ingkang kaasta ing kangjeng Pangeran engga rame sanget. Wusananipun begal kalih sami kasoran ngantos nyuwun pangaksama lan prasetya boten badhe begal malih-malih.

Jumat, 22 Juli 2011

BABAD AMBAL




KERANGKA CERITA BABAD AMBAL.

1.   Kabupaten Ambal termasuk wilayah Bagelen yang menjabat Bupati bernama K.P.A.H. Purbanagara (1828 – 1872M). Kabupaten Ambal berlangsung dalam satu periode/selama hidupnya Bupati Purbanagara. Setelah Purbanagara meninggal dunia wilayah Bagelen dibagi tiga wilayah yaitu : (1) Kabupaten Kutoarjo (2) Kabupaten Kebumen (3) Kabupaten Karanganyar.
Ilustrasi Rumah Jawa Tempo Dulu. Sumber Internet.

K.P.A.H. Purbanagara seorang Bupati yang bijaksana, hidupnya sederhana, sangat akrab dengan rakyatnya. Beliau mempunyai hamba/pengasuh kepercayaan yang ditugaskan mengasuh putra-putranya (Pupuh Sinom 1 -17).

2.     Pada jaman Mataram semasa pemerintahan Sinuhun Raja mempunyai selir bernama Mas Ajeng Tingkir, berputra bernama Raden Mas Semedi, anak itu kemudin diserahkan kepada Mangundipura agar diasuhnya baik-baik. Setelah dewasa Raden Mas Semedi bekerja sebagai Abdi Dalem. Pada jaman Perang Dipanegara Raden Mas Semedi meningglkan kraton mengungsi menuju daerah Kedu. Setelah sampai di Kebumen memakai nama samaran Mangunprawira.

Di daerah Ambal selatan atau daerah “Urut Sewu” terjadi huru-hara disebabkan oleh Gamawijaya (Puja Gamawijaya) dari desa Plempuk yang terkenal berani dan sakti. Pekerjaan sehari-hari sebagai perampok. Raja Mataram kemudian mengutus Pangeran Balitar agar menangkap Puja Gamawijaya. Tetapi Pangeran Balitar tidak berhasil menangkapnya. Kangjeng Gupermen mengumumkan sayembara barang siapa dapat menangkap brandal Puja Gamawijaya akan mendapat hadiah yang besar. Lurah desa Sijeruk yang bernama Wargantaka dan Andaga anaknya menyatakan bersedia menangkap brandal Puja Gamawijaya. Wargantaka telah mengetahui kelemahan-kelemahannya Puja Gamawijaya, karena teman seperguruan. Andaga diserahi tugas untuk menangkap Puja Gamawijaya (Pupuh Dhandhanggula : 1-2)

3.    Puja Gamawijaya semakin berang dan beringas melihat Andaga datang di medan perang. Perkelahian terjadi. Andaga selalu diamat-amati oleh ayahnya. Puja Gamawijaya datang ke desa Sijeruk, menantang adu kesaktian dengan Andaga dan Wargantaka. Andaga tidak tahan dengan ucapan Puja Gamwijaya. Akhirnya Puja Gamawijaya kalah, dibunuh dan kepalanya dipenggal (Pupuh Pangkur : 1-28).


Rabu, 20 Juli 2011

TIGA MANUSKRIP KUNO DIUSULKAN SEBAGAI MEMORI DUNIA

Ilustrasi Naskah La Galigo. Sumber : Internet

Jakarta - Tiga manuskrip kuno Indonesia diusulkan sebagai Memori Dunia atau Memory of The World. Peninggalan tertulis masa lalu yang telah masuk nominasi UNESCO tahun ini yaitu Babad Dipanagara atau Autobiographical Chronicle of Prince Dipanagara (1785-1855), La Galigo, dan Mak Yong Documentation.

 Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Mohammad Nuh menyampaikan, Indonesia memiliki warisan-warisan baik yang bersifat benda maupun nonbenda. Salah satu tugas UNESCO, kata Mendiknas, adalah mengenali warisan-warisan budaya tersebut.

"Kemdiknas bersama-sama dengan kementerian terkait mempunyai tanggung jawab untuk mengenalkan warisan-warisan budaya kita supaya mendapatkan pengakuan dari lembaga internasional," katanya usai menerima serfitikat Angklung Indonesia sebagai Warisan Budaya Nonbenda dari UNESCO, yang diberikan oleh mantan Duta Besar RI untuk UNESCO Tresna Dermawan Kunaefi di Kemdiknas, Jakarta, Rabu (19/1/2011) sebagaimana tertuang dalam siaran pers Kemendiknas.

Hadir pada acara Menteri Lingkungan Hidup Gusti Muhammad Hatta, Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih, Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, dan Menristek Suharna Surapranata.

Mendiknas selaku Ketua Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO menyampaikan, Babad Dipanagara diusulkan sebagai Memori Dunia bukan sekadar mengisahkan Diponegoro sebagai seorang pangeran atau pejuang, tetapi atas filosofi-filosofi kehidupan dan pemerintahan yang dituangkan dalam naskah tersebut. "Ini salah satu yang ingin kita usulkan," ujarnya.

Selasa, 19 Juli 2011

NASKAH KUNO DI MUSEUM KENDARI

KENDARI, KOMPAS.com--Sejumlah naskah kuno yang masih tersimpan di Museum Negeri Slawesi Tenggara perlu mendapat perhatian dan dilestariakn agar tetap aman, terjaga keasliannya dari benda lain yang bisa merusaknya.

"Kalau perlu, naskah-naskah kuno agar tetap terawat dan terjaga, perlu dilakukan kerja sama dengan lembaga pemerintah yang mengelola dan merawat benda-benda bersejarah di Jakarta," kata Susianti, Staf Direktorat Museum Pusat Kementerian Kebudayaan dan Parawisata RI di Kendari, Sabtu.

Pameran Temporer menyangkut identitas lokal daerah di Kota Kendari itu dibuka Asisten II Sekwilda Provinsi Sultra, Zuhuri Mahmud mewakili Gubernur Sultra dan didampingi Kadis Kebudayaan dan Parawisata Sultra, H Satar.

Menurut Susianti, dengan kondisi benda-benda bersejarah di museum Kendari yang seakan-akan tidak tersentuh dengan biaya perawatan, maka sebaiknya diserahkan atau melakukan kerjasama dengan pemerintah pusat untuk membiayainya.

RADYAPUSTAKA SELAMATKAN 164 NASKAH KUNO

Ilustrasi Naskah Kuno. Sumber : internet.

SOLO, KOMPAS.com — Sebanyak 164 naskah kuno carikan (tulisan tangan) yang kondisinya sudah memprihatinkan koleksi Museum Radyapustaka Solo diselamatkan dengan cara digitalisasi dan sebagian dikonservasi dan penjilidan ulang.

"Ya, kami beserta rombongan datang ke sini tujuannya tidak lain untuk menyelamatkan naskah-naskah kuno ini," kata Kasubdid Micro Film PNRI Muhammad Kodir di sela-sela acara konservasi naskah kuno tersebut di Museum Radyapustaka.

Kegiatan itu dilakukan museum itu bersama Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) dalam memperingati 120 tahun Museum Radyapustaka.

Radyapustaka, yang merupakan museum tertua di Indonesia itu, memiliki koleksi naskah-naskah kuno dan kondisinya pada umumnya sudah memprihatinkan. 

"Untuk itu yang kami digitalisasi adalah naskah yang sudah rusak parah, memiliki nilai informasi tinggi, banyak dicari masyarakat, dan ini yang kami utamakan," kata Muhammad Kodir. 

Menyinggung masalah biaya digitalisasi dan konservasi, Muhammad Kodir mengatakan bahwa untuk sementara, itu belum bisa dikatakan karena pekerjaan sedang dimulai.

"Biaya digitalisasi ini tergantung kondisi naskah itu sendiri, mungkin kalau kerusakannya sudah parah, ya pasti akan lebih mahal," katanya.

Sumber : Kompas.com

BABAD ARUNGBINANG pupuh 1 dumugi 10


Cariyos babad Arungbinang punika kasalin (transliterasi) saking  aksara Jawa dhateng aksara Latin kawiwitan saking kaca 15 dumugi kaca 510'an  amargi kaca 1 dumugi 14 sampun ical/ suwek lan sasampunipun kaca 510'an inggih sampun risak/suwek.  Mekaten ugi menawi anggen kula 'nransliterasi' punika taksih kathah klentunipun, nyuwun gunging pangapunten lan nyuwun pambiyantunipun amrih leresipun.
Naskah Babad Arungbinang, koleksi pribadi penulis. (tampak depan)
PUPUH DHANDHANGGULA
(1)


1. sowan kawula paduka gusti, dinuta ing
    putra jêng Narèndra
gusti ngaturan
    kundurè
mring       nêgari mêntarum,  
 
  jêng sinuwun sangêt rudatintinilar
    panêmbahan
,   praja hara huru,
  dhawuh putra padukèndra,
sakathahing
    lêpat  samar miwah lahir
,   putra nuwun
    aksama
.






2. wantos - wantos gusti jêng putra jiulun kinèn andhèrèk sarêngamênawi
    botên kadhèrèk
sanisdhaya pinugut,      cagak  kopyah kawula gusti, dhuh gusti
    kuwêlasa
, ing kawulanipunéngêta  mring putra Nata, tur kawula tumuntên kundura gusti,
    wisuda among putra
.

3. paranbaya drêsananing runtik, tilar praja manglèna sarira, anampik pan duk kamuktèn, nêpsu
    têmah kêlurung, tan wun raga katêmpah lalis, prayogi ulatana, kanitya …… (sêratan
    kabusak/rumpang)…… , tama utamèng dumadya, taralan muhung rukun lan kulit daging, otot
    bêbalung …… (sêratan kabusak/rumpang)……


4. mugya mulya ningalam dunyèki, ing …… (sêratan kabusak/rumpang) …… raja Nara Nata,
    pikantuk  lahir batinè, amranani rahayu, putra wayah sawuri wuri, ruwiya malak mandar,
    kadarmanya wimbuh, bubuka sangking paduka, pintên pintên kanugrahaning Suksma di, sirik
    yèn tinolaka.


5. kathah kathah atur duta dwi, manohara amrih liliya, ing pênggalih sang wiragè, jêng
    pangran aswa muwus, lah ta uwis mênênga kalih, ing rèh aja dinawa, têmah murung laku,
    ywa ngucap kang ngora ora, luput apa sinuwun dhumatêng kami, mandrawèng wiwilangan.



Senin, 18 Juli 2011

BABAD ARUNGBINANG pupuh 11 dumugi 12

PUPUH DURMA
(11)
 1.    ngetan ngaler ngambah siti palataran, ing watu lawang prapti, lumangkah wiwara, angipat asta kiwa, kadhaton ilang wus kekasi, ancala purna, bulupitu lir nguni.
2.    menggok ngidul anjog, bumi kali pethak, trus mangilen tan tebih, mangu manguneng tyas, ketang kang kantun rupa, pring ori tinempuh angin, gumrit swaranya, kadya jriting pawestri.
3.    sru memalad kayat nandoning ngasmara, gya ngidul dreng lumaris, keh jalma kapapag, mire eram tumingal, tigas uninga semangkin, bingung panarka, ika manungsa ngendi.
4.    angajrihi nyangking bedhil balimbingan, estha wong arsa jurit, yen arep peranga, lah dene tanpa rowang, menawa uwong negari, ing Kartasura, minggat kena prakawis.
5.    nyimpang ngadoh andulu sangking mandrawa, wau ta kang lumaris, Surawijaya, prapta desa ngabeyan, Honggayuda nuju linggih, apakempalan, pawong mitrane sami.

Minggu, 17 Juli 2011

BABAD ARUNGBINANG pupuh 13 dumugi 14

PUPUH PUCUNG
(13)
1.     wus sinigeg carita kuthowinangun, genti winursita, laladan banyumas nagri, wukir slamet prenah kang eler pascima.

2.     ana jalma mretapa agraning gunung, kalih samya kadang, dene aslinira nguni, sangking nagri madiyun trah witaredya.

3.     dyan supena namanira ingkang sepuh, suratma taruna, kalih pisan warna pekik, prameng sastra sonta budya mahajana.

4.     wit mertapa jajaka kalih madiyun, sangking berbudiman, tinilar ring yayah umi, kasangsara nulya kentar sangking wisma.

5.     pamomonge sajuga ran kertabau, tutwuri tan siwah, ketrek ing selamet wukir, jaka kalih anjungkung mamati raga.

Sabtu, 16 Juli 2011

NASKAH NASKAH YANG TERLUPAKAN

Ilustrasi Bale Kuno Di Bali. Sumber : Internet

Begitu melewati hutan-hutan cemara yang sunyi, masuklah kami ke wilayah Desa Kendakan, desa di lereng Merbabu yang juga seperti desa-desa di pegunungan lain. Jalanan batu rapi dengan rumput di sela-selanya sehingga tidak licin bila hujan. Udara segar, dan sesekali tercium bau asap lisong. 

Sore itu, kami mencari seorang dalang bernama Sumitro. Bertanya-tanya dari kaki sampai lereng gunung, hampir semua warga kenal dan dapat menunjukkan rumahnya. Rumah yang amat sederhana. Kaca jendelanya buram, penuh tempelan stiker para pendaki gunung. 

10.000 LONTAR DIDIGITALISASI

Pemerintah Provinsi Bali melalui Dinas Kebudayaan menerima tawaran digitalisasi lontar sebagai aset budaya dengan lembaga donor Internet Archive Foundation dari Amerika Serikat. Semua biaya, termasuk pembuatan situs web lontar tersebut, ditanggung lembaga itu. Sekitar 10.000 lembar lontar bakal didigitalisasi selama satu tahun.

Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali Ketut Suastika membantah anggapan bahwa penerimaan kerja sama itu wujud ketidakberdayaan pemerintah daerah membiayai sendiri digitalisasi lontar-lontar tersebut. ”Buktinya, kami masih menganggarkan sekitar Rp 160 miliar untuk pengembangan budaya Bali. Hanya saja, kami mengakui belum memberikan anggaran khusus untuk pengembangan lontar,” katanya, Kamis (20/1).

Ia menambahkan, pihaknya tidak khawatir soal pemasukan lontar-lontar Bali ini dalam situs web atas nama lembaga Amerika tersebut. (AYS)

Sumber : nasional.kompas.com

Tulisan di Lontar Akan Didigitalisasi

Ilustrasi Lontar Kuno. Sumber : Internet.

DENPASAR, KOMPAS. com--Dinas Kebudayaan Provinsi Bali akan melakukan proses digitalisasi terhadap karya-karya tulis dalam aksara bali yang terdapat dalam sejumlah lontar.

"Digitalisasi yang dimaksud adalah memasukan tulisan aksara bali kuno tersebut melalui proses komputerisasi dan kemudian akan dibuatkan website tersendiri yang sudah diberikan kode tertentu," kata Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali Ketut Suastika di Denpasar, Kamis.

Ia mengatakan, suatu saat nanti, tulisan dalam lontar tersebut bisa diakses oleh para pengguna dunia maya di seluruh dunia.

Koleksi Lontar Museum Radya Pustaka Terancam Rusak

Ilustrasi Naskah Lontar. Sumber : Internet.

SOLO, KOMPAS - Museum Radya Pustaka, Solo membutuhkan bantuan untuk mengonservasi naskah kuno dari daun lontar yang kondisinya terancam rusak. Ketua Komite Museum Radya Pustaka Winarso Kalingga, Jumat (7/8), mengungkapkan adanya koleksi dua naskah kuno dari daun lontar yang selama ini belum diketahui publik. Kedua naskah ini ditemukan di gudang museum yang masih dipenuhi koleksi yang belum masuk daftar inventarisasi.
Petugas Perpustakaan Museum Radya Pustaka Kurnia Heniwati mengungkapkan, pihaknya kesulitan untuk melakukan konservasi kedua naskah lontar. Namun atas masukan dan panduan konsultatif dari Universitas Udayana, Bali, pihaknya berencana melakukan konservasi secara mandiri. 

Sumber : regional.kompas.com

BABAD ARUNGBINANG pupuh 15 dumugi 16


PUPUH ASMARADANA
(15)
1.    tanpa gawe ngugung kingkin, mundhak memetengi driya, yen peteng rungsit lalakon, sabarang reh ulatana, murih dadi jalaran, den myarsa suwiteng ratu, lamon wus bener pratingkah.

2.    menawa amanggih gampil, lah mengko kita ngandhega, arta pajeg desa kabeh, kang lumade mring negara, lan bulu bekti uga, bebegen ywa nganti katur, niscaya nuIi kapyarsa.

3.    maring kang darbe lilinggih, banjur konjuk ing Narendra, kang raka mangsuli alon, yen mengkono pesthi uga, enggal kaprikseng Nata, nanging temah karya luput, tangeh kangge pasuwita.

4.    mundur nuli den brojongi, cupet lalakoning dunya, kang garwa ling ngira bekes, mendah lir ati wong kompra, mungguh kaya andik, mongsa kuranga pangawruh, amrih kalis ing duduk.

5.    tanpa gawe mangun brongti, ngemungna wani ing gampang, sumingkir penggawe angel, sabarang nora tumeka, mangke dika sun jajal, arep wruh kencenging kalbu, yen wani ambantheng ranggah.

Jumat, 15 Juli 2011

BABAD ARUNGBINANG pupuh 17 dumugi 18


PUPUH SINOM
(17)
1.    kuneng malih ginupita, Surawijaya kang mulih, praptanira desa kutho, atur pawarteng sudarmi, lan kadang mitra sami, yen ing ngenjing mangkatipun, sowan ing Kartasura, kang winartan sanggya kingkin, nging pinupus papesthen tan kena siwah.

2.    ing dalu tan winursita, ing semangke sampun enjing, dandan Surawijayenggal, umangkat sangking wismeki, wisata anetepi, ing prejanji gandhek catur, prapta dhusun ungaran, mantri sawega lumaris, budhe budhal dhateng nagri Kartasura.

3.    palastha sawega nulya, umangkat mantri duta ji, Surawijaya ken numpak, kuda tundhan geng prayogi, datan kawar neng margi, ing Kertasura prapteng suk, sowan mring Kapatihan, tundhuk lan raden dipati, katur solah dinuta purwa wusana.

4.    nujwa meh sareng praptanya, caraka sing tirta rukmi, tumenggung yudanagara, nenggih ngaturi upeksi, tiwas kasoran jurit, binedhah keraman ripu, awasta damar wulan, menak koncar kang satunggil, sami kadang tiyang asal amretapa.

5.    di dalem yudanagara, kengser sing wisma ngoncati, barisan sidayu tanah, keraman kathah nglangkungi, nuwun bebantu jurit, dyan dipati wusnya putus, patih banyumas turnya, gya dandan raden dipati, arsa malebeng pura sowan jeng Narendra.

Sedang Membaca

free counters

Iklan Anda