Iklan Anda

Kamis, 30 Juni 2011

RIWAYAT SINGKAT PERJUANGAN KI BAGUS BADRANALA DAN TUMENGGUNG KALAPAKING



Tahun 1584.
Ilustrasi Raden Adipati Ario Aroengbinang beserta Istri (1930)
sumber : KEBUMENKAB.go.id
Putri Pembayun putri Panembahan Senopati di Mataram, kawin dengan Ki Ageng Mangir (Ki Wanabaya).

Tahun 1584.

Putri Pembayun melahirkan putranya, diberi nama Madusena, lahir di keraton Mataram. Oleh pengikut setia Ki Ageng Mangir, Madusena lalu dicuri dan disembunyikan dan dibesarkan di kademangan Karanglo.

Tahun 1605.

Ki Maduseno kawin dengan Dewi Majaji dan berputra KI BAGUS BADRANALA. Ki Bagus Badranala ini kemudian berguru kepada Ki Anjar Kyai Geseng di Gunung Geyong.

MATARAM JAMAN SULTAN AGUNG.

Tahun 1624.

Pada saat mempersiapkan Tentara Mataram menyerang Kompeni di Jayakarta/Batavia Ki Bagus Badranala diberi tugas membantu Ki Suwarno membeli bahan pangan dari penduduk setempat untuk persediaan makanan tentara Mataram.

Tahun 1627.

Lumbung pangan didirikan di Panjer.

Tahun 1628.

Ki Bagus Badranala diangkat sebagai prajurit pengawal pangan ke Jayakarta.
Ki Suwarno diangkat menjadi Bupati Pangan/Logistik di Panjer (Bertempat di kompleks bekas pabrik Sari Nabati/Nabati Yasa sekarang).
Upeti atau pajak yang harus masuk ke Mataram agar diwujudkan dalam bentuk bahan pangan untuk persediaan penyerangan berikutnya dan semuanya ditampung di Panjer.

Kabupaten yang sudah ada pada waktu itu.
1.      Kabupaten Bocor.
2.      Kabupaten Panjer Gunung,
3.      Kabupaten Panjer Roma.
4.      Kabupaten Kaliwiro.
5.      Kabupaten Tunggara.
6.      Kabupaten Banjar.
7.      Kabupaten Kutowaringin.
8.      Kabupaten Mandiraja.
9.      Kabupaten Sigaluh.
10.   Kabupaten Banyumas.

Tahun 1641.

Ki Bagus Badranala mengawal pangan ke Jayakarta/Batavia dalam rangka penyerangan yang ke II. Sesampai di sana ia diangkat menjadi Senapati Perang di sayap Hutan Kayu (Jayakarta Tenggara). Dan dapat menggempur benteng Solitude. HIngga menyebabkan Belanda mengalami banyak kekalahan. Kemudian lari dan masuk ke dalam Benteng Pendem (sekarang kompleks Masjid Istiqlal Jakarta). Dalam pengepungan ini tentara Mataram banyak yang terserang penyakit diare hebat lalu mundur.

Tahun 1642.

Panjer dijadikan Kabupaten Ketataprajaan, sejajar dengan Kabupaten Bocor.
-       Ki Bagus Badranala ditempatkan di Roma.
-       Bupati Suwarno ditempatkan di Gunung.
Kemudian dari Mataram timbul istilah Panjer Roma dan Panjer Gunung.
(Kanjengan Kabupaten Roma , sekarang menjadi Pasar Tumenggungan).

Tahun 1643.

Serombongan Kompeni Belanda mendarat di pantai Karanggadung, Petanahan dengan tujuan untuk menghancurkan lumbung pangan tentara Mataram di Panjer. Tentara Kompeni dapat dihalau oleh Ki Bagus Badranala, dibantu oleh Ki Nalapraya dan Anjar Kyai Geseng. Sehingga tentara Kompeni kembali ke kapalnya. Atas jasa-jasa, dari Mataram KI Bagus Badranala diangkat menjadi KI GEDE PANJER ROMA. Jadi Bupati Panjer Roma juga memiliki sebutan Ki Gede Panjer Roma ( ke I).

Tahun 1670.

Pangeran Bumidirja, pangeran dari Kerajaan Mataram lolos dari Praja Mataram. Berjalan kea rah barat hingga sampai di Panjer Roma yang pada waktu itu diperintah oleh KI GEDE PANJER ROMA II (Ki Hastrasuta yang merupakan putra Ki Gede Panjer Roma I yang nomor 2/ terhitung canggah dari Panembahan Senapati). Pangeran Bumidirja diterima oleh beliau dan diberi tanah disebelah utara Sungai Luk Ula dan menamakan dirinya Ki/Kyai Bumi.
Padepokannya kemudian terkenal dengan sebutan Ka Bumen. Sekarang dibekas padepokan tersebut didirikan Pendapa Rumah Dinas Bupati Kebumen (Kel. Bumirejo = Bumi kang Rejo).

Tahun 1677.

Trunajaya menduduki Keraton Mataram. Sunan Amangkurat Agung menyingkir ke barat dengan tujuan Kesultanan Cirebon untuk minta bantuan diikuti oleh Pangeran Puger, Pangeran Singosari dan KI Mertosono. Pada malam Selasa Kliwon tanggal 26 -06-1677 M, kebetulan kala itu hujan lebat. Rombongan Kanjeng Sunan sampai di rumah Ki Gede Panjer Roma III (Ki Kertawangsa), dan diterima dengan baik. Kanjeng Sunan menginginkan Air Kelapa muda untuk obat haus dan lelah. Tetapi oleh Ki Gede diberi kelapa tua. Waktu itu juga beliau menginginkan daging kelapanya. Sehingga Gede terus terang bahwa yang disajikan itu kelapa kering (aking). Tetapi Kanjeng Sunan tidak murka bahkan memuji Ki Gede atas kesaktiannya. Dengan air kelapa aking dapat menyembuhkan rasa sakit dan lelah bagi Kanjeng Sunan dan rombongan. Maka atas jasanya Ki Gede diangkat menjadi Adipati Panjer dengan gelar TUMENGGUNG KALAPAKING dari asal kata kelapa aking.
Pada bulan Aeptember 1677 akhirnya Sunan Mangkurat Agung wafat di desa Ciyoyom dan dimakamkan di Tegalarum.
Selanjutnya Pangeran Adipati Anom yang seharusnya menggantikan kedudukan beliau dan naik tahta di Mataram, justru bermaksud akan naik haji, sementara Pangeran Puger ditugaskan merebut kembali tahta Mataram dari tangan Trunajaya.

Tahun 1678.

Sekembalinya dari Cirebon, Pangeran Puger yang disertai oleh Pangeran Singosari, Mertosono dan Tumenggung Kalapaking I menyusun kekuatan di Panjer (dari 5 kabupaten). Para pemuda Panjer dilatih keprajuritan oleh 3 Pangeran dari Mataram tersebut. Tempat latihan di Kademangan Wawar desa Karang yang diperintah oleh Ki Warganaya. Desa Karang (tempat latihan) itu kemudian dibangun dan dijadikan Kota Diwewangun yang kelak kemudian berubah menjadi Kutowinangun seperti sekarang.
Pada bulan Juni tahun 1678 pasukan tentara Mataram berangkat dari Panjer bersama Pemuda Panjer yang dipimpin oleh Pangeran Puger, Pangeran singosari, Senopati Ki Mertosono, untuk merebut kembali tahta dari tangan Trunajaya dan berhasil. Akhirnya Trunajaya menyingkir ke Kediri.

Selanjutnya : Tanggal 25-11-1678 Pangeran Adipati Anom yang semula akan naik haji, kemudian diangkat oleh Kompeni Belanda menjadi Raja Mataram dengan sebutan Amangkurat Amral (dari kata Admiral). Sunan Amangkurat Amral dengan dibantu Kompeni dari Semarang mengejar Trunajaya sampai di Kediri. Dan tertangkap di Gunung Antang, mulai saat itu Kompeni resmi berkuasa di Mataram.

Setelah Sunan Amangkurat Amral bekerja sama dengan kompeni, banyak prajurit yang berasal dari Panjer tidak senang dan merasa tidak dapat bekerja sama. Akhirnya hamper separuh meninggalkan Mataram untuk kembali ke Panjer. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh Tumenggung Kalapaking I untuk menaklukan daerah-daerah sekitar yang belum mau mengakui kekuasaan Panjer. Kemudian terbentuklah KESATUAN DAERAH PANJER.
Setelah berhasil, Tumenggung Kalapaking I lalu mengutamakan :
-       Pembuatan saluran irigasi.
-       Hutan yang berkelebihan lalu dicetak menjadi persawahan dan pemukiman.
-       Mengangkat Demang, Panewu, Bekel yang baru.
-       Banyak pedagang manca dari daerah lain berdatangan, kesemuanya ini dilaksanakan untuk kemakmuran rakyatnya.
Tumenggung Kalapaking I memerintah selama 33 tahun, kemudian diganti oleh Tumenggung Kalapaking II (Ki Mandingin).

Tahun 1833.

Tumenggung Arung Binang IV diangkat menjadi Bupati Kebumen oleh Kumpeni. Menempati rumah Katumenggungan Kalapaking V (sekarang kompleks Pasar Tumenggungan Kebumen). Tetapi tidak tahan/tidak kuat bertempat disitu. Maka dibangunlah rumah Kabupaten yang baru disebelah selatannya, sekarang kompleks RSUD dan ES BENING kini masuk desa Panjer.
Tetapi baru beberapa bulan ditempti, langsung dibumi hangus oleh KI Petut Gonowijoyo bekas senapati kepercayaan Tumenggung Kalapaking IV. Akhirnya Tumenggung Arung Binang IV menyingkir ke Kebejen Kutowinangun. Disitu beliau mendapat wangit agar membangun Kanjengan dibekas Padepokan Ki Bumi di desa Bumirejo. Maka dicarilah dukuh Kebumen oleh ulama dari Kedungrandu yang bernama Kyi Ngabdul Jalal. Dan Kanjengan itu kini menjadi Rumah Dinas Bupati Kebumen.

Tahun 1842 -1849. (Terjadi kekuasaan kembar)

Antara :
-       Bupati Bupati Arung Binang IV yang berasal dari Sala dan
-       Patihnya yaitu Tumenggung Kalapaking V (R.M Sudirso) dari Panjer.
Setelah 5 tahun Tumenggung Kalapaking V menjadi patih Tumenggung Arung Binang IV, beliau sangat patuh dalam melaksanakan tugasnya. Sehingga mendapat kepercayaan dari Asisten Residen Belanda.
Dalam kesempatan ini ia sempat menyelundupkan 300 pucuk senjata api dan disimpan oleh Ki Tanurekso (Putra Petut Gonowijoyo). Karena kompeni kehilangan 300 pucuk senjata tersebut maka kepercayaan kepada Tumenggung Arung Binang IV berkurang. Sebaliknya kepercayaan kepada Tumenggung Kalapaking v semakin meningkat. Maka terjadilah KEKUASAAN KEMBAR. Hal ini berjalan 7 tahun, yakni antara tahun 1842 s.d 1849.
Agar tidak terjadi dualism kekuatan, maka atas saran Sunan Paku Buwana agar diselenggarakan pemilihan kepemimpinan antara Tumenggung Arung Binang IV dan Tumenggung Kalapaking V.
-       Tumenggung Arung BInang V di Pendapa Kebumen.
-       Tumenggung Kalapaking IV di alun-alun.
Ternyata hasilnya sebagai beerikut :
-       Yang di Pendapa mendapat 16 orang.
-       Yang di alun-alun banyak sekali pengikutnya.
Sehingga kemenangan ada dipihak Tumenggung Kalapaking V.

Beberapa hal yang perlu menjadi catatan dalam peristiwa ini.
-       Demang Mertokondo ikut Tumenggung Arung Binang IV.
-       Setelah kemenangan ada dipihak Tumenggung Kalapaking V, seharusnya yang menjadi Bupati adalah Tumenggung Kalapaking V. Setelah masuk kanjengan, ternyata kompeni menghianatinya. Tumenggung Kalapaking V hendak ditangkap akan tetapi dapat meloloskan diri dan terus berjuang melawan kompeni.
-       Tumenggung Arung Binang IV tetap menjadi bupati.
-       Sebagai symbol kekuasaan tunggal, maka ditebanglah POHON BERINGIN KEMBAR yang satunya yang berada di lun-alun.
-       Tumenggung Kalapaking V terus mengadakan perlawanan terhadap kompeni Belanda dengan dibantu oleh Tumenggung Arung BInang IV secara sembunyi-sembunyi. Tetapi Demang Mertokondo menghianatinya, lalu “disumpahi” oleh kedua tumenggung itu. Akhirnya mati terbunuh, dan tubuhnya konon berbentuk bugel (mungkret), karena terkena kutukan dari kedua tumenggung tersebut. Kini makam Demang Mertokondo atau makam Si Bugel berada di Jetis, Kebumen.

Tahun 1849.

Akibat yang ditimbulkan oleh penangkapan Tumenggung Kalapking V oleh Belanda :
-       Prajurit Tumenggung Kalapaking V biarpun lebih banyak tetapi kalah persenjataan (senjata tajam melawan senjata api).
-       Belanda meminta bantuan ke Beneng Sumpiuh yang sudah dipersiapkan lebih dulu.
-       Prajurit Tumenggung Kalapaking V mundur ke utara melewati Gunung Malang Kencana, melewati Gunung Tugel yang sempit. Setelah prajuritnya lewat semua, ditebaslah puncak Gunung Malang Kencana dengan keris saktinya. Gunung itupun akhirnya putus puncaknya (pogog) sehingga dikenal sebagai Gunung Pogog. Pada waktu itu Belanda sempat kehilangan 15 pucuk senjata api.
-       Belanda minta agar Tumenggung Arung Binang IV turun tangan dalam peperang itu malam hari, tetapi tidak bersedia. Bahkan muslihatnya kemudian dikhianati oleh anak buahnya. Waktu itu Tumenggung Arung Binang IV mengutus Demang Mertokondo untuk berpura-pura menyelidiki pasukan Tumenggung Kalapaking V dengan isyarat sandi. Demang Mertokondo setelah keluar dari kanjengan lalu dibujuk rayu oleh kompeni, ia lalu menunjukan tempat persembunyin Tumenggung Kalapking V.
-       Pasukan kompeni Belanda menyerbu ke utara. BAru dalam perjalanan sudah diketahui oleh prajurit Tumenggung Kalpaking V yang sedang berjaga (kemit), kemudian membunyikan kentongan dengan nada titir (sehingga kelak desa ini bernama desa kemitir). Tumenggung Kalapaking V beserta Ki Tanurekso  lalu menyingkir (desa yang menjadi tempat persembunyian Ki Tanurekso kelak bernama desa Tanuraksan). Pasukan kompeni yang diiikuti Demang Mertokondo ini tidak berhasil. Demang Mertokondo tidak berani masuk ke kanjengan lagi, lalu ikut kepada Kompeni Belanda dan diberi pangkt Sersan.
-       Setelah terjadi kekuasaan tunggal, dengan ditebangnya Pohon Beringin Kembar sebagai symbol atau lambing kekuasaan tunggal kabupaten Kebumen dengan Tumenggung Arung Binang IV sebagai Bupatinya, lalu melaksanakan peperangan lagi dengan pasukan Tumenggung Kalapaking V, yang sebetulnya hanya merupakan siasat dalam melawan kompeni Belanda, dengan kenyataan sebagai berikut :
a.    Pasukan kompeni Belanda dibantu dari Benteng Sumpiuh dan Purworejo.
b.    Pasukan Tumenggung Kalapaking v dibatu oleh pasukan Kabupaten Sigaluh, dengan rencana perlawanan yang berurutan atau bersambung (desa Karangsambung). Tenaga yang terkumpul 2000 orang.
c.    Utusan Tumenggung Arung Binang IV dating menghadap Tumenggung Kalapaking V dengan menyerahkan bantuan uang untuk biaya perang.

Pada saat perang besar terjadi Belanda dipimpin oleh : Mayor Verbrag,  Kapitan Arons, Kapitan Huster, Letnan Flissinger dan masih banyak opsir lainya.
Sedangkan dari pihak Tumengggung Kalapaking V dipimpin oleh : Tumenggung Kalapaking V sendiri, Ki Kertodrono (dari Sigaluh), RM. Dipodrono (dari Sigaluh) dll.

Setelah peperangan selesai.
-       Ki Dipodrono gugur dalam peperangan.
-       Mayor Verbrag, Kapitan Arons dan Huster serta Letnan FLissinger mati dan dari luka-lukanya tidk mengeluarkan darah. Ternyata dibunuh oleh Tumenggung Arung Binang IV yang menyamar menjadi prajurit Karangsambung dengan menggunakn tombak pusakanya yang berasal dari Bulupitu yakni Naracabala.
-       Hari berikutnya opsir Belanda yang masih hidup melapor kepada Tumenggung Arung Binang IV tentang hasil peperangan.
-       Tumenggung Arung Binang IV mengirim surat tertutup kepada Mayor Magilis yang datang di Kebumen yang isinya : Pasukan perang Tumenggung Kalapaking V terlalu kuat dan belum tentu dapat dikalahkan. Sebaiknya diadakan perdamaian dan perundingan dan Bupati Tumenggung Arung Binang IV sanggup menjadi juru penengahnya.
-       Maka diadakanlah perundingan antara  Tumenggung Kalapaking V dan pihak Kompeni Belanda di bekas Panjer Gunung. Selama perundingan, Mayor Magilis selalu menyebut-nyebut kata  “baniare”, yang artinya tidak dimengerti. Akhirnya tempat itu menjadi desa Baniara.

Tahun 1870. (Hasil perundingan)

Tumenggung Kalapaking V sanggup berhenti berperang apabila kedua anaknya (laki-laki) dijadikan Bupati Pemegang Wilayah. Hasil itu disetujui oleh Gubernur Jenderal Belanda tahun 1875, tetapi tempatnya tidak di Kebumen dan tidak boleh lagi menggunakan nama Kalapaking.
-       Pada tahun 1878 putra Tumenggung Kalapaking V yang bernama Ki Atmodipuro diangkat Bupati Banjarnegara, bergelar Tumenggung Jayanagara I.
-       Putra yang lain yang bernama Ki Sukadis diangkat menjadi Bupati Karangnyar bergelar Tumenggung Kertanegara. Setelah pensiun digantikan oleh putranya bergelar Tumenggung Tirtakusuma.
Pada tanggal 1-1-1936 Kabupaten Karanganyar dihapus, lalu dijadikan satu dengan Kabupaten Kebumen. Itulah yang kemudian sampai saat sekarang menjadi Hari Jadi Kabupaten Kebumen (bukan Kota Kebumen, penulis) 1 JANUARI 1936.

Sumber  : Sadiyo dalam Babad Panjer dan Babad Kebumen 2006.
Disunting dengan perubahan seperlunya oleh : agustbedhe’

Selasa, 28 Juni 2011

Sastra Jawa Kuno

Sastra Jawa Kuno atau seringkali dieja sebagai Sastra Jawa Kuna meliputi sastra yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuna pada periode kurang-lebih ditulis dari abad ke-9 sampai abad ke-14 Masehi, dimulai dengan Prasasti Sukabumi. Karya sastra ini ditulis baik dalam bentuk prosa (gancaran) maupun puisi (kakawin). Karya-karya ini mencakup genre seperti sajak wiracarita, undang-undang hukum, kronik (babad), dan kitab-kitab keagamaan. Sastra Jawa Kuno diwariskan dalam bentuk manuskrip dan prasasti. Manuskrip-manuskrip yang memuat teks Jawa Kuno jumlahnya sampai ribuan sementara prasasti-prasasti ada puluhan dan bahkan ratusan jumlahnya. Meski di sini harus diberi catatan bahwa tidak semua prasasti memuat teks kesusastraan.

Karya-karya sastra Jawa penting yang ditulis pada periode ini termasuk Candakarana, Kakawin Ramayana dan terjemahan Mahabharata dalam bahasa Jawa Kuno.


Karya sastra Jawa Kuno sebagian besar terlestarikan di Bali dan ditulis pada naskah-naskah manuskrip lontar. Walau sebagian besar sastra Jawa Kuno terlestarikan di Bali, di Jawa dan Madura ada pula sastra Jawa Kuno yang terlestarikan. Bahkan di Jawa terdapat pula teks-teks Jawa Kuno yang tidak dikenal di Bali.
Penelitian ilmiah mengenai sastra Jawa Kuno mulai berkembang pada abad ke-19 awal dan mulanya dirintis oleh Stamford Raffles, Gubernur-Jenderal dari Britania Raya yang memerintah di pulau Jawa. Selain sebagai seorang negarawan beliau juga tertarik dengan kebudayaan setempat. Bersama asistennya, Kolonel Colin Mackenzie beliau mengumpulkan dan meneliti naskah-naskah Jawa Kuno.

Istilah sastra Jawa Kuno agak sedikit rancu. Istilah ini bisa berarti sastra dalam bahasa Jawa sebelum masuknya pengaruh Islam[1] atau pembagian yang lebih halus lagi: sastra Jawa yang terlama. Jadi merupakan sastra Jawa sebelum masa sastra Jawa Pertengahan. Sastra Jawa Pertengahan adalah masa transisi antara sastra Jawa Kuno dan sastra Jawa Baru. Di dalam artikel ini, pengertian terakhir inilah yang dipakai.

Tradisi penurunan

 Sastra Jawa Kuno yang terlestarikan sampai hari ini sebagian besar diturunkan dalam bentuk naskah manuskrip yang telah disalin ulang berkali-kali. Sehingga mereka jarang yang tertulis dalam bentuk asli seperti pada waktu dibuat dahulu, kecuali jika ditulis pada bahan tulisan yang awet seperti batu, tembaga dan lain-lain. Prasasti tertua dalam bahasa Jawa Kuno berasal dari tahun 804, namun isinya bukan merupakan teks kesusastraan. Teks kesusastraan tertua pada sebuah prasasti terdapat pada Prasasti Siwagreha yang ditarikh berasal dari tahun 856 Masehi.

 Sedangkan naskah manuskrip tertua adalah sebuah naskah daun nipah yang berasal dari abad ke-13 dan ditemukan di Jawa Barat. Naskah nipah ini memuat teks Kakawin Arjunawiwaha yang berasal dari abad ke-11.

Banyak teks dalam bahasa Jawa Kuno yang terlestarikan dari abad ke-9 sampai abad ke-14. Namun tidak semua teks-teks ini merupakan teks kesusastraan. Dari masa ini terwariskan sekitar 20 teks prosa dan 25 teks puisi. Sebagian besar dari teks-teks ini ditulis setelah abad ke-11.


Daftar Karya Sastra Jawa Kuno dalam bentuk prosa

  1. Candakarana
  2. Sang Hyang Kamahayanikan
  3. Brahmandapurana
  4. Agastyaparwa
  5. Uttarakanda
  6. Adiparwa
  7. Sabhaparwa
  8. Wirataparwa, 996
  9. Udyogaparwa
  10. Bhismaparwa
  11. Asramawasanaparwa
  12. Mosalaparwa
  13. Prasthanikaparwa
  14. Swargarohanaparwa
  15. Kunjarakarna

 Daftar Karya Sastra Jawa Kuno dalam bentuk puisi (kakawin)

  1. Kakawin Tertua Jawa, 856
  2. Kakawin Ramayana ~ 870
  3. Kakawin Arjunawiwaha, mpu Kanwa, ~ 1030
  4. Kakawin Kresnayana
  5. Kakawin Sumanasantaka
  6. Kakawin Smaradahana
  7. Kakawin Bhomakawya
  8. Kakawin Bharatayuddha, mpu Sedah dan mpu Panuluh, 1157
  9. Kakawin Hariwangsa
  10. Kakawin Gatotkacasraya
  11. Kakawin Wrettasañcaya
  12. Kakawin Wrettayana
  13. Kakawin Brahmandapurana
  14. Kakawin Kunjarakarna, mpu "Dusun"
  15. Kakawin Nagarakretagama, mpu Prapanca, 1365
  16. Kakawin Arjunawijaya, mpu Tantular
  17. Kakawin Sutasoma, mpu Tantular
  18. Kakawin Siwaratrikalpa, Kakawin Lubdhaka
  19. Kakawin Parthayajna
  20. Kakawin Nitisastra
  21. Kakawin Nirarthaprakreta
  22. Kakawin Dharmasunya
  23. Kakawin Harisraya
  24. Kakawin Banawa Sekar Tanakung

 Dari Wikipedia bahasa Indonesia





Jumat, 24 Juni 2011

Naskah Kuno Melayu Diincar Malaysia

Naskah Lontar

Salah satu warisan kebudayaan nenek moyang kita yang bernilai cukup penting adalah naskah kuno (manuskrip). Di seluruh Indonesia diketahui banyak terdapat naskah kuno yang ditulis dalam berbagai aksara dan bahasa. Sebagian besar naskah masih tersimpan atau dimiliki masyarakat awam. Biasanya kepemilikan naskah bersifat turun-temurun. Sebagian lain terdapat di lembaga-lembaga pusat dan daerah, seperti Perpustakaan Nasional, perpustakaan daerah, dan lembaga-lembaga adat.


Namun disayangkan, pemeliharaan atau perawatan naskah-naskah tersebut kurang diperhatikan. Akibatnya, banyak naskah kuno yang bernilai sejarah, menjadi rusak atau kotor. Bahkan, cenderung tidak bisa dibaca lagi. Tentu saja hal demikian amat menurunkan kualitas naskah sehingga kandungan isinya menjadi berkurang.
Naskah kuno umumnya tidak mampu bertahan lama menghadapi zaman. Ini karena naskah umumnya ditulis pada bahan yang tergolong rapuh, seperti daun tal (lontar), daun nipah, bambu, kulit hewan, dan daluwang (kertas).

Kategori naskah



Dari kajian filologi diketahui naskah-naskah kuno Indonesia terbagi atas 14 kategori, yaitu (1) naskah keagamaan, (2) naskah kebahasaan, (3) naskah filsafat dan folklore, (4) naskah mistik rahasia, (5) naskah mengenai ajaran moral, (6) naskah mengenai peraturan dan pengalaman hukum, (7) naskah mengenai silsilah raja-raja, (8) naskah mengenai bangunan dan arsitektur, (9) naskah mengenai obat-obatan, (10) naskah mengenai arti perbintangan, (11) naskah mengenai ramalan, (12) naskah susastra, (13) naskah bersifat sejarah, dan (14) naskah mengenai perhitungan waktu (Trigangga, 2000).

Sebagai sumber tertulis dari zaman lampau, seharusnya naskah merupakan sumber sejarah yang patut kita diperhatikan. Memang, kekurangan utama naskah dibandingkan sumber tertulis lainnya seperti prasasti adalah naskah jarang menyebutkan nama pengarang dan tahun penulisannya. Yang tertera biasanya nama penyalin dan tahun penyalinannya. Namun sebenarnya naskah mampu mengungkapkan masalah-masalah di luar politik, seperti kebudayaan dan kesehatan.

Diperkirakan di seluruh Indonesia terdapat belasan ribu naskah kuno yang ditulis dalam berbagai bahasa daerah. Kendalanya adalah kita kekurangan pakar yang mampu menangani naskah. Dengan demikian kajian historiografi atas naskah-naskah kuno tersebut masih sangat sedikit. Tidak dimungkiri, banyak masyarakat awam enggan bergelut dengan naskah karena prospeknya kurang menjanjikan. Hambatan lain adalah masih belum adanya buku-buku pegangan tentang naskah kuno.

Naskah dari kulit kayu

Saat ini salah satu instansi yang paling banyak mengoleksi naskah kuno adalah Perpustakaan Nasional Jakarta. Lebih dari 10.000 naskah kuno ada di sana. Namun di sini baru sekitar lima persen naskah yang mampu dialihaksarakan dan diterjemahkan. Masalah utamanya adalah kelangkaan tenaga filolog.

Selama ini memang ilmu filologi dipandang tidak bergengsi. Penghasilan sebagai pakar filologi pun dinilai sangat kecil. Jangan heran kalau sampai kini tenaga penerjemah aksara-aksara kuno masih bisa dihitung jari tangan. Itu pun semakin tahun semakin langka karena satu per satu dari mereka mulai tua bahkan meninggal.

Keluhan serupa pernah datang dari sejumlah museum di Jawa Barat yang banyak mengoleksi naskah Sunda. Kini tenaga penerjemah naskah Sunda kuno hanya tersisa dua orang. Padahal, naskah-naskah yang perlu ditangani masih berjumlah ratusan. Sepeninggal Saleh Danasasmita, Edi S. Ekadjati, Atja, dan Ayatrohaedi memang boleh dikatakan tidak ada lagi generasi muda yang menekuni dunia filologi Sunda.

Konservasi



Tidak dimungkiri kalau sebagian terbesar naskah kuno justru masih berada di tangan warga masyarakat, seperti di kraton, tetua adat, dan keluarga. Dikhawatirkan, naskah-naskah tersebut akan rusak tergerus waktu karena ketidaktahuan masyarakat akan cara-cara perawatan.

Beberapa tahun lalu, berbagai koleksi naskah kuno di kraton-kraton Cirebon, pernah rusak dan hancur digigiti serangga, terutama ngengat. Sebagian lagi lembab karena naskah-naskah tersebut hanya disimpan di dalam peti kayu dan kopor pakaian. Ironisnya, banyak warga masih menganggap naskah kuno itu adalah barang keramat sehingga tabu untuk diperlihatkan kepada masyarakat di luar kraton atau kerabatnya.

Tentu saja prinsip-prinsip konservasi naskah belum dipahami benar oleh sebagian besar pemilik naskah. Padahal sebagai negara beriklim tropis, bahan-bahan naskah mudah rapuh dalam cuaca normal. Idealnya, barang-barang tersebut harus disimpan dalam suhu 18 derajat Celcius.

Naskah Babad Arung Binang dalam kondisi rusak (koleksi pribadi)

Secara umum pengguna naskah kuno dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian. Kelompok terbesar adalah para peneliti, penyimpan, dan penata naskah. Karena profesinya, maka mereka memerlakukan naskah dalam konteks pengembangan ilmu pengetahuan.

Kelompok kedua adalah perawat pusaka dan pencari petunjuk. Mereka melihat naskah sebagai benda suci.
Kelompok ketiga adalah pembuat (dari pengarang hingga penyalin) naskah, yang dapat mempunyai berbagai motivasi, seperti komersial dan spiritual (Edi Sedyawati, 2006).

Naskah terbanyak di Indonesia diduga berasal dari daerah sekitar Gunung Merapi-Merbabu. Tercatat sekitar 400 naskah kuno berhasil dikumpulkan dari sebuah padepokan ilmu.

Naskah La Galigo

Yang tergolong luar biasa, Indonesia memiliki sebuah naskah kuno dengan cerita terpanjang di dunia. La Galigo namanya, berasal dari daerah Bugis (Sulawesi Selatan). Naskah kuno berbahan kertas itu juga terbilang langka karena berbentuk seperti kaset (mempunyai dua gulungan). Banyak orang menafsirkan, naskah kuno itu merupakan ilham dari terciptanya kaset oleh bangsa Jepang. Di seluruh dunia, naskah berbentuk pita kaset hanya tinggal delapan buah. Tiga di antaranya terdapat di Indonesia, yakni satu di Perpustakaan Nasional dan dua di Sulawesi Selatan. Sisanya tersebar di beberapa negara.

Pada dasarnya naskah-naskah kuno Indonesia memiliki berbagai keunikan. Di pedalaman Sampit (Kalimantan Tengah), misalnya, pernah ditemukan sebuah Al Qur’an hasil tulisan tangan yang ukurannya hanya sebesar kotak korek api. Sementara Al Qur’an yang pernah ditemukan di Bali hingga kini masih dianggap naskah tertua di dunia.

Naskah terbanyak di Indonesia diperkirakan berupa naskah Melayu karena daerah pendukung bahasa Melayu relatif luas. Selain di Riau, Palembang, Jambi, dan sekitarnya, bahasa Melayu juga digunakan di Sulawesi dan Kalimantan.

Malaysia



Naskah kuno memiliki banyak manfaat. Selain sumber informasi berbagai jenis ilmu pengetahuan, naskah kuno merupakan kebanggaan suatu masyarakat atau daerah.

Ironisnya, manakala bangsa kita tidak memedulikan naskah-naskah kuno, tetangga kita Malaysia, justru pandai memanfaatkan peluang. Sejak bertahun-tahun lalu banyak warga Malaysia kerap berburu naskah-naskah Melayu dari beberapa wilayah Indonesia, antara lain dari Riau, Palembang, dan Jambi hingga ke Indonesia Timur.

Bahkan sejak 2002 lalu banyak budayawan Malaysia masuk keluar kampung berburu naskah Melayu. Mereka memang berambisi mendirikan Pusat Kajian Melayu terbesar di dunia. Naskah-naskah kuno tersebut mereka beli dari keluarga kerajaan/kraton atau warga masyarakat dengan harga tinggi.

Banyak pihak juga menyesalkan sikap para akademisi Malaysia yang sering melecehkan para akademisi Indonesia, misalnya terhadap hasil penelitian budayawan Tenas Effendi. Sebagian besar kerja kerasnya bertahun-tahun ternyata sudah “diangkuti” ke universitas terkemuka di Kuala Lumpur. Oleh mereka lalu dibuatkan situs tersendiri. Tragisnya, ketika kita mau menggunakannya, kita justru harus membayar kepada mereka (Kompas, 12/12/2007).

Jelas, dalam berbagai hal kita masih kalah gesit. Bukan hanya perbatasan, naskah kuno pun diincar Malaysia. Mari kita bersama-sama menyelamatkan aset berharga nenek moyang kita itu.

*******
Naskah Kuno Banyak, Kajiannya Sedikit

Ketika masih kecil Heinrich Schliemann, seorang Jerman, pernah diberi hadiah sebuah buku bacaan tentang kisah Perang Troya. Selama bertahun-tahun kisah dari masa Yunani purba itu terngiang-ngiang di telinganya. Menurut anggapannya, kisah Perang Troya bukanlah dongeng semata. Harus ada kenyataan di balik semua itu.

Mulailah dia mengumpulkan uang untuk membuktikan kebenaran pendapatnya. Terutama setelah dia menjadi bankir. Dibantu sejumlah keluarga dan temannya, dia kemudian berangkat ke Yunani, menuju tempat yang diperkirakan sebagai letak kota Troya.

Di sana, bukit demi bukit dia gali. Akhirnya dari sebuah timbunan tanah, muncul sedikit demi sedikit batu-batu kuno. Itulah benteng kota Troya. Schliemann menemukan letak kota itu pada 1870-an.

Dari kisah itu kiranya jelas bahwa naskah (manuskrip), dibantu tradisi lisan atau cerita rakyat, sebenarnya memegang peranan penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Di Indonesia, peranan naskah yang demikian besar juga pernah disadari oleh ilmuwan-ilmuwan pionir, seperti Muhammad Yamin, yang pernah menjabat Menteri Pendidikan dan Pengajaran di era Presiden Soekarno.

Setelah membaca naskah Nagarakretagama karya Mpu Prapanca dari kerajaan Majapahit (abad ke-14), Yamin menyimpulkan bahwa sebelum terbentuknya NKRI, di wilayah Nusantara pernah ada dua negara kesatuan besar, yaitu Sriwijaya yang bercorak maritim dan Majapahit yang berciri agraris. Pendapat Yamin masih diikuti banyak kalangan hingga kini. Apalagi banyak pakar menganggap Nagarakretagama merupakan naskah nonfiksi terbaik sebagai sumber sejarah (Ayatrohaedi, 1990).

Tidak dimungkiri, karena keotentikannya dianggap bagus maka kisah sejarah berbagai daerah juga disusun berdasarkan naskah-naskah kuno. Naskah Carita Parahyangan merupakan sumber untuk penulisan sejarah Sunda. Babad Tanah Jawi, meskipun mengandung mitologi, dianggap babonnya kisah sejarah Jawa. Hikayat Banjar menjadi dasar penyusunan sejarah Banjar (Kalimantan Selatan). Sejarah Malayu untuk sejarah daerah Melayu (mencakup Riau dan sekitarnya). Begitu pula dengan Hikayat Aceh, Kronik Maluku, Babad Lombok, dan sebagainya yang berkenaan dengan sejarah masing-masing daerah.

Kritik



Kini di seluruh Indonesia terdapat belasan ribu hingga puluhan ribu naskah kuno. Namun disayangkan, kajian historiografi atas naskah-naskah kuno tersebut masih amat sedikit. Padahal. lewat hasil kajian filologi, naskah-naskah tersebut akan mampu merekonstruksi masa lampau masyarakat dalam berbagai aspeknya.

Banyak naskah dipercaya mengandung data sejarah yang akurat. Karena itulah digunakan sebagai acuan oleh para filolog dan arkeolog. Filologi dan arkeologi memang mempunyai jenis data utama yang berbeda, namun keduanya sering kali bertemu dalam suatu kepentingan.

Filologi umumnya memelajari teks atau sumber tertulis. Sementara arkeologi meneliti artefak atau sumber tak tertulis. Namun karena suatu teks selalu dituliskan pada benda tertentu, maka terjadilah pertemuan keduanya. Hal ini terlihat nyata pada epigrafi, yakni ilmu yang memelajari prasasti.

Naskah sebagai artefak kemudian mendapatkan perhatian serius. Hal ini diwujudkan dengan mengemukanya bidang perhatian khusus dalam ilmu pernaskahan yang disebut Kodikologi. Demikian pula variasi-variasi kecil dalam bentuk huruf diberi perhatian khusus dalam penggarapan naskah-naskah, untuk dilihat kemungkinannya bahwa variasi-variasi itu adalah fungsi dan perbedaan tradisi wilayah, masa, atau penguasa (Edi Sedyawati, 2006).

Dalam beberapa kasus, filologi memang amat berhubungan erat dengan arkeologi dan sejarah. Teks-teks kuno, terutama yang telah melalui garapan para ahli filologi, dapat membantu para peneliti arkeologi yang memelajari benda-benda budaya tinggalan dari masa yang sama atau berdekatan dengan teks-teks itu.
Pemanfaatan terbesar adalah dalam rangka identifikasi rangkaian relief cerita yang terdapat di candi-candi. Banyak teks Jawa Kuno yang telah dijadikan sandaran untuk upaya identifikasi tersebut.

Teks-teks sastra kuno pada dasarnya memberikan sumbangan berarti bagi pengetahuan ikonografi (seni arca kuno) berkenaan dengan penggambaran visual para tokoh. Sebaliknya, pengetahuan arkeologi khususnya ikonografi, dapat pula memberikan sumbangan pada ilmu pernaskahan. Terlebih dalam memberikan terjemahan yang tepat pada kata-kata yang sebenarnya merupakan semacam istilah teknis dalam konteks ikonografi.

Rekonstruksi



Sejumlah teks mampu memberikan gambaran mengenai peri kehidupan di zaman teks tersebut ditulis. Data semacam itu amat berguna untuk memberikan gambaran rekonstruksi yang lebih lengkap apabila dipadukan dengan temuan-temuan kepurbakalaan sezaman (Sedyawati, 2006).

Di Indonesia tradisi pernaskahan pernah hidup dalam berbagai suku bangsa. Masing-masing memiliki sistem aksara yang khas, termasuk media penulisannya. Dari ribuan naskah kuno yang sudah sampai ke tangan kita, masing-masing memiliki keunikan, yakni setiap daerah memiliki materi yang berlainan untuk menulis naskah.
Naskah-naskah dari Jawa umumnya ditulis di atas daun tal (lontar). Naskah Batak ditulis di atas kulit kayu yang kemudian diberi tali pengikat dan ditutup dengan kayu berukir. Bahan-bahan lain yang digunakan adalah kertas (daluwang), bambu, tulang binatang, kulit binatang, labu hutan, rotan, dan daun nipah.

Karena kurang perhatian masyarakat dan pemerintah, naskah (kuno) telah menjadi sumber sejarah yang terabaikan. Untuk itu kita semua harus menyelamatkan seluruh khasanah pernaskahan dari kepunahan atau kerusakan. Saolnya, kemungkinan besar isinya masih mempunyai relevansi dengan masa kini.

Penulis: Djulianto Susantio,
Arkeolog, di Jakarta
https://hurahura.wordpress.com/ 


Minim, Perhatian Pemerintah pada Penyelamatan Naskah Kuno


Suara Merdeka.com

Solo, CyberNews. Perhatian pemerintah pada upaya penyelamatan naskah-naskah kuno dinilai masih sangat minim. Padahal upaya itu sangat penting, karena menyangkut pemeliharaan peradaban kebudayaan bangsa.

Hal itu diungkapkan pakar digitalisasi dan restorasi naskah kuno, DR Thoralf Hanstein, dosen Universitas Leipzig, Jerman, yang membantu melakukan proses digitalisasi untuk menyelamatkan naskah kuno di Solo, Yogya dan Aceh.

"Kami selama bekerja sendiri, hanya dengan sedikit ada uluran tangan perhatian dari pemerintah. Kami embawa peralatan bahkan dana dari Jerman semata-mata karena kami ingin menyelamatkan warisan peradaban kebudayaan dunia yang ada di Indonesia," kata dia.

Di sela-sela Simposium Internasional Masyarakat  Pernaskahan Nasional (Manassa) di Solo, dia mengatakan pihaknya tergerak melakukan penyelamatan naskah kuno di Aceh ketika terjadi tsunami. "Ada ribuan naskah yang bisa kami selamatkan. Naskah-naskah itu kami restorasi dan dikonservasi, setelah bisa diselamatkan dilakukan katalogisasi dan dibuat naskah dalam bentuk digital serta dilakukan back-up agar jika naskah aslinya hilang, masih ada datanya," ujanrya.

Itu memang proses penyelamatan, dan pihaknya membawa peralatan scanner, kamera canggih, serta bahan-bahan merestorasi untuk memperbaiki naskah asli yang masih tersisa. Selesai di Aceh, alat itu kini dibawa ke Yogyakarta.

‘'Saat ini kami mencoba melakukan proses digitalisasi naskah kuno yang ada di Keraton Solo, Yogyakarta, dan Museum Sonobudoyo milik Keraton Yogyakarta. Ada ribuan naskah yang sudah kami proses,'' tandasnya.

Selain milik keraton, ada pula yang milik perorangan. Jika milik personal karena warisan, kadang harus dihadapkan pada kendala sakralisasi naskah itu, sehingga pemiliknya enggan didigitalisasi. "Kalau tidak mau, kami tidak bisa memaksa. Namun kami memberikan pengertian karena naskah itu barang berharga, jika tidak diselamatkan dan dirawat dengan baik, akan hancur dan bangsa ini sangat kehilangan," tandasnya.

Dia hanya berharap ke depan pemerintah lebih tanggap dan bisa lebih intensif memperhatikan upaya penyelamatan tersebut. Misalnya membentuk Pusat Pernaskahan Nusantara. "Adanya lembaga itu sangat penting, karena akan membantu upaya tersebut. Saat ini sudah ada Manassa (Masyarakat Pernaskahan Nusantara) namun dukungan untuk melakukan berbagai kegiatan masih sangat minim.

Dalam rekomendasi yang dihasilkan peserta symposium yang dihadiri ahli pernaskahan dari Kanada, Jerman, Dubai, Malaysia, Singapura, Belanda, dan juga para ahli dari berbagai universitas di Indonesia, ada imbauan senada.
( Joko Dwi Hastanto /CN12 )

Kamis, 23 Juni 2011

PROFILKU



NAMA LENGKAP      :   AGUS BUDIONO,S.S / agust bedhe
TEMPAT LAHIR         :   Kebumen
TANGGAL LAHIR      :   23 Juli 1974
TEMPAT TINGGAL    :   Perumahan PESONA BOUGENVILLE
                                    Jl. Korpri I, No. 02 Bumirejo,  Kebumen.
PEKERJAAN             :  Guru PNS di SMPN 1
                                    KARANGGAYAM
STATUS                    :  Belum menikah (Sedang mencari calon                                                                istri yang baik).

PENDIDIKAN                  :   
                                             1.   SD          di  SDN 1 Panjer Kebumen  (1987).
                                             2.   SMP       di  SMPN 1 Kebumen           (1990).
                                             3.   SMA       di  SMAN 2 Kebumen           (1993).
                                             4.   S1          di  Fakultas Sastra , Jurusan Bahasa dan Sastra
                                                                      Dhaerah, Univ. Sebelas Maret Surakarta (1998).
CATATAN                        :
                                                    Sejak tahun 1999 aktif di kegiatan teater di Kebumen, pernah 
                                                    mendirikan kelompok teater Tritisan  (1999)  bersama  teman-
                                                    teman yang setiap hari Minggu sore berlatih di halaman Dikpora
                                                    Kab. Kebumen.


                                                    Sejak di bangku kuliah memiliki perhatian dan kecintaan yang
                                                    besar terhadap karya Sastra Jawa terutama Sastra Jawa 

                                                    Kuno baik berupa Naskah Carik/Manuskrip Lokal, Cerita
                                                    Sejarah Lokal, hingga Crita Rakyat Lokal/Legenda Desa.


                                                    Saat ini tengah berusaha untuk mencari keberadaan Naskah-
                                                    Naskah Kuno di wilayah Kebumen yang masih ber-

                                                    tebaran sebagai koleksi pribadi ikut peduli  menyelamat-
                                                    kan Naskah-Naskah Kuno tersebut untuk di buat dalam
                                                    bentuk Digital / Digitalisasi.  
    

                                                    Salah satu Naskah Kuno yang telah berhasil dilakukan
                                                    Digitalisasi adalah Naskah Babad Arung Binang, berhuruf
                                                    Jawa bertembang Macapat yang kondisinya sudah sangat
                                                    rusak.


                                                    Kritik dan saran beserta donasi bagi yang berkenan dapat
                                                    kontak langsug ke no hp : 087837721400/081387688297.
                                                    Donasi sangat kami butuhkan karena untuk melakukan
                                                    Digitalisasi Naskah dibutuhkan dana yang cukup besar,
                                                    selama ini kami menggunakan dana pribadi yang
                                                    kemampuannya  tentu sangat terbatas.
Rumahku #1
Rumahku #2





Sedang Membaca

free counters

Iklan Anda