(pupuh 21-40).
Pupuh 21.
Fajar menyingsing: berangkat lagi Baginda melalui Lo Pandak, Ranu Kuning, Balerah, Bare-bare, Dawohan, Kapayeman, Telpak, Baremi, Sapang, serta Kasaduran. Kereta berjalan cepat-cepat menuju Pawijungan.
Menuruni Lurah, melintasi sawah, lari menuju Jaladipa, Talapika, Padali, Ambon dan Panggulan. Langsung ke Payaman, Tepasana ke arah Kota Rembang. Sampai di kemirahan yang letakknya di pantai lautan.
Pupuh 22.
Di Dampar dan Patunjungan, Sri Baginda bercengkrama menyisir tepi lautan. Ke jurusan timur turut pesisir darat, lembut limbur di lintas kereta. Berhenti beliau di tepi danau penuh teratai, tunjung sedang berbunga. Asyik memandang udang berenang dalam air tenang memperlihatkan dasarnya.
Terlangkahi keindahan air telaga yang lambai melambai dengan lautan. Danau ditinggalkan menuju Wedi dan Guntur tersembunyi di tepi jalan. Kasogatan Bajraka termasuk wilayah Taladwaja sejak dulu kala. Seperti juga Patunjungan, akibat perang, belum kembali ke asrama.
Terlintas tempat tersebut, ke timur mengikuti hutan sepanjang tepi lautan. Berhenti di Palumbon, berangkat setelah surya laut. Menyeberangi sungai Rabutlawang yang kebetulan airnya sedang surut. Menuruni lurah Balater menuju pantai lautan, lalu bermalam lagi.
Pada waktu fajar menyingsing, menuju Kunir Basini, di Sadeng bermalam. Malam berganti malam Baginda pesiar menikmati alam Sarampuan. Sepeninggalnya beliau menjelang Kota Bacok bersenang-senang di pantai. Heran memandang karang tersiram riak gelombang berpancar seperti hutan.
Tapi sang rakawi tidak ikut berkunjung di Bacok, pergi menyidat jalan. Dari Sadeng ke utara menjelang Balung, terus menuju Tumbu dan Habet. Galagah, Tampaling, beristirahatlah di Renes seraya menanti Baginda. Segera berjumpa lagi dalam perjalanan ke Jayakreta – Wanagriya.
Pupuh 23.
Melalui Doni Bontong, Puruhan, Bacek, Pakisaji, Padangan terus ke Secang. Terlintas Jati Gumelar, Silabango. Ke utara ke Dewa Rame dan Dukun.
Lalu berangkat ke Pakembangan. Di situ bermalam; segera berangkat. Sampailah beliau ke ujung lurah Daya. Yang segera dituruni sampai jurang.
Pupuh 24.
Terlalu lancer lari kereta melintasi Palayangan dan Bengkong, dua desa tanpa cerita, terus menuju Sarana, mereka yang merasa lelah ingin berehat. Lainnya bergegas berebut jalan menuju Surabasa.
Terpalang matahari terbenam berhenti di padang lalang. Senja pun turun, sapi lelah dilepas dari pasangan. Perjalanan membelok ke utara melintasi Turayan. Beramai-ramai lekas-lekas ingin mencapai Patukangan.
Pupuh 25.
Panjang lamun dikisahkan kelakuan para menteri dan abdi. Beramai-ramai Baginda telah sampai di Desa Patukangan. Di tepi laut lebar tenang rata terbentang di barat Talakrep. Sebelah utara pakuwuan pesanggrahan Baginda Nata.
Semua menteri mancanagara hadir di Pakuwuan. Juga Jaksa Pasungguhan Sang Wangsadiraja ikut menghadap. Para Upapati yang tanpa cela, para pembesar agama. Panji siwa dan Panji budha, faham hukum dan putus sastra.
Pupuh 26.
Sang Adipati Suradikara memimpin upacara sambutan. Diikuti segenap penduduk daerah wilayah Patukangan. Menyampaikan persembahan, girang bergilir dianugerahi kain. Girang rakyat girang raja, Pakuwuan berlimpah kegirangan.
Pupuh 27.
Untuk mengurangi sumuk akibat teriknya matahari. Baginda mendekati permaisuri seperti dewa dewi. Para puteri laksana apsari turun dari kahyangan. Hilangnya keganjlan berganti pandang penuh heran cengang.
Berbagai-bagai permainan diadakan demi kesukaan. Berbuat segala apa yang membuat gembira penduduk. Menari topeng, bergumul, bergulat, membuat orang kagum. Sungguh beliau dewa menjelma, sedang mengedari dunia.
Pupuh 28.
Selama kunjungan di Desa Patukangan. Para menteri dari Bali dan Madura. Dari Balumbung, kepercayaan Baginda. Menteri seluruh Jawa Timur berkumpul.
Persembahan bulu bekti bertumpah limpah. Babi, gudel, kerbau, sapi, ayam dan anjing. Bahan kain yang diterima bertumpuk timbun. Para penonton tercengang-cengang memandang.
Tersebut keesokan hari pagi-pagi. Baginda keluar di tengah-tengah rakyat. Diiringi para kawi serta pujangga. Menabur harta, membuat gembira rakyat.
Pupuh 29.
Hanya pujangga yang menyamar Prapanca sedih tanpa upama. Berkabung kehilangan kawan kawi-Budha Panji Kertajaya. Teman bersuka ria, teman karib dalam upacara gama. Beliau dipanggil pulang, sedang mulai menggubah karya megah.
Kusangka tetap sehat, sanggup mengantar aku ke mana juga. Beliau tahu tempat-tempat mana yang layak pantas dilihat. Rupanya sang pujangga ingin mewariskan karya megah indah. Namun mangkatlah beliau, ketika aku tiba, tak terduga.
Itulah lantarannya aku turut berangkat ke Desa Keta. Melewati Tal tunggal, Halalang-panjang, Pacaran dari Bungatan. Sampai Toya Rungun, Walanding, terus Terapas, lalu bermalam. Paginya berangkat ke Lemah Abang, segera tiba di Keta.
Pupuh 30.
Tersebutlah perjalanan Sri Narapati kea rah barat. Segera sampai Keta dan tinggal disana lima hari. Girang beliau melihat lautan, memandang balai kambang. Tidak lupa menghirup kesenangan lain hingga puas.
Atas perintah sang arya semua menteri menghadap. Wiraprana bagai kepala, upapati Siwa-Budha. Mengalir rakyat yang datang sukarela tanpa diundang. Membawa bahan santapan, girang menerima balasan.
Pupuh 31.
Keta telah ditinggalkan. Jumlah pengiring makin bertambah. Melintasi Banyu Hening, perjalanan sampai Sampora. Terus ke Daleman menuju Wawaru, Gerbang, Krebilan. Sampai di Kalayu Baginda berhenti ingin menyekar.
Kalayu adalah nama desa perdikan kasogatan. Tempat candi makam sanak kadang Baginda raja. Penyekaran di makam dilakukan dengan sangat hormat. “Memegat Sigi” nama upacara penyekaran itu.
Upacara berlangsung menepati segenap aturan. Mulai dengan jamuan makan meriah tanpa upama. Para patih mengarak Sri Baginda menuju paseban. Genderang dan kendang bergetar mengikuti gerak tandak.
Habis penyekaran raja menghirup segala kesukaan. Mengunjungi desa-desa disekitarnya genap lengkap. Beberapa malam lamanya berlomba dalam kesukaan. Memeluk wanita cantik dan meriba gadis remaja.
Kalayu ditinggalkan, perjalanan menuju Kutugan. Melalui Kebon Agung, menuju Kambangrawi, bermalam. Tanah anugerah Sri Nata kepada Tumenggung Nala. Candinya Budha menjulang tinggi, sangat elok bentuknya.
Perjamuan Tumenggung Nala jauh dari cela. Tidak diuraikan betapa lahap Baginda Nala bersantap. Paginya berangkat lagi ke Halses, B’rurang. Patunjungan. Terus langsung melintasi Patentanan, Tarub dan Lesan.
Pupuh 32.
Segera Sri Baginda sampai di Pajarakan, di sana bermalam empat hari. Di tanah lapang sebelah candi Budha beliau memasang tenda. Dipimpin Arya Sujanottama para menteri dan pendeta datang menghadap. Menghaturkan pacitan dan santapan, girang menerima anugerah uang.
Berangkat dari situ Sri Baginda menuju asrama di rimba Sagara. Mendaki bukit-bukit ke arah selatan dan melintasi terusan Buluh. Melalui wilayah Gede, sebentar lagi sampai di asrama sagara. Letaknya gaib ajaib di tengah-tengah hutan membangkitkan rasa kagum rindu.
Sang pujangga Prapanca yang memang senang bermenung tidak selalu menghadap. Girang melancong ke taman melepaskan lelah melupakan segala duka. Rela melalaikan paseban mengabaikan tata tertib para pendeta. Memburu nafsu menjelajah rumah berbanjar-banjar dalam deretan berjajar.
Tiba di taman bertingkat, di tepi pesanggrahan tempat bunga tumbuh lebat. Suka cita Prapanca membaca cacahan (pahatan) dengan slokanya di dalam cita. Di atas atap terpahat ucapan sloka yang disertai nama. Pancaksara pada penghabisan tempat terpahat samar-samar, menggirangkan.
Pemandiannya penuh lukisan dongengan berpagar batu gosok tinggi. Berhamburan bunga nagakusuma di halaman yang dilingkupi selokan. Andung, karawita, kayu mas, menur serta kayu puring dan lain-lainnya. Kelapa gading kuning rendah, menguntai di sudut mengharu rindu pandangan.
Tiada sampailah kata merah keindahan asrama yang gaib dan ajaib. Beratapkan hijuk, dari dalam dan luar berkesan kerasnya tata tertib. Semua para pertapa, wanita dan pria, tua-muda, nampaknya bijak. Luput dari cela dan klesa, seolah-olah Siwapada di atas dunia.
Pupuh 33.
Habis berkeliling asrama, Baginda lalu dijamu. Para pendeta pertapa yang ucapannya sedap resap. Segala santapan yang tersedia dalam pertapaan. Baginda membalas harta, membuat mereka gembira.
Dalam pertukaran kata tentang arti kependetaan. Mereka mencurahkan isi hati, tiada tertahan. Akhirnya cengkerama ke taman penuh dengan kesukaan. Kegirang-girangan para pendeta tercengang memandang.
Habis kesukaan memberi isyarat akan berangkat. Pandang sayang yang ditinggal mengikuti langkah yang pergi. Bahkan yang masih remaja puteri sengaja merenung. Batinnya: dewa asmara turun untuk datang menggoda.
Pupuh 34.
Baginda berangkat, asrama tinggal berkabung. Bambu menutup mata, sedih melepas selubung. Sirih menangis merintih, ayam roga menjerit. Tiung mengeluh sedih, menitikkan air matanya.
Kereta lari cepat, karena jalan menurun. Melintasi rumah dan sawah ditepi jalan. Segera sampai Arya, menginap satu malam. Paginya ke utara menuju Desa Gading.
Para menteri mancanegara dikepalai Singadikara, serta pendeta Siwa-Budha. Membawa santapan sedap dengan upacara. Gembira dibalas Baginda dengan emas dan kain.
Agak lama berhenti seraya istirahat. Mengunjungi para penduduk segenap desa. Kemudian menuju Sungai Gawe, Sumanding, Borang, Banger, Baremi lalu lurus ke barat.
Pupuh 35.
Sampai Pasuruan menyimpang jalan ke selatan menuju Kepanjangan. Menganut jalan raya, kereta lari beriring-iring ke Andoh Wawang. Ke Kedung Peluk dan Ke Hambal, desa penghabisan dalam ingatan. Segera Baginda menuju Kota Singasari bermalam dib alai kota.
Prapanca tinggal disebelah barat Pasuruan ingin terus melancong. Menuju Indarbaru yang letaknya di daerah Desa Hujung. Berkunjung di rumah pengawasnya, menanyakan perkara tanah asrama. Lempengan piagam pengukuh diperlihatkan, jelas setelah dibaca.
Isi piagam: tanah datar serta lembah dan gunungnya milik wihara. Begitu pula dengan Markaman, lading balunghura, sawah hujung. Isi piagam membujuk sang pujangga untuk tinggal jauh dari pura. Bila telah habis kerja di Putusingin, ia menyingkir ke Indarbaru.
Sebabnya terburu-buru berangkat setelah dijamu bapa asrama. Karena ingat akan giliran menghadap di balai Singasari. Habis menyekar di candi makam, Baginda mengumbar nafsu kesukaan. Menghirup sari pemandangan di Kedung Biru, Kasurangganan dan Bureng.
Pupuh 36.
Pada Subakala, Baginda berangkat ke selatan menuju Kagenengan. Akan berbakti kepada makam Bhatara bersama segala pengiringnya. Harta, perlengkapan, makanan, dan bunga mengikuti jalannya kendaraan. Didahului kibaran bendera, disambut sorak sorai dari penonton.
Habis penyekaran, narapati keluar, dikerumuni segenap rakyat. Pendeta Siwa-Budha dan para bangsawan berderet leret di sisi beliau. Tidak diceritakan betapa lahab Baginda bersantap sampai puas. Segenap rakyat girang menerima anugerah bahan pakaian yang indah.
Pupuh 37.
Tersebutlah keindahan candi makam, bentuknya tiada bertara. Pintu masuk terlalu lebar lagi tinggi, bersabuk dari luar di dalam, terbentang halaman dengan rumah berderet di tepinya. Ditanami aneka ragam bunga, tanjung, nagasari ajaib.
Menara lampai menjulang tinggi di tengah-tengah, terlalu indah. Seperti gunung Meru, dengan arca Bhatara Siwa di dalamnya. Karena Girinata putera disembah bagai Dewa Bhatara. Datu leluhur Sri Naranata yang disembah di seluruh dunia.
Sebelah selatan candi makam ada candi sunyi terbengkalai. Tembok serta pintunya masih berdiri, berciri kasogatan. Lantai di dalam, hilang kakinya bagian barat, tinggal yang timur. Sangar dan pemujaan yang utuh, bertembok tinggi dari batu merah.
Disebelah utara, tanah bekas kaki rumah sudahlah rata. Terpancar tanamannya nagapuspa serta salaga di halaman. Diluar gapura pabaktan luhur, tapi longsor tanahnya. Halaman luas tertutup rumput, jalannya penuh dengan lumut.
Laksana perempuan sakit merana lukisannya lesu-pucat. Berhamburan daun cemara yang ditempuh angin, kusut bergelung. Kelapa gading melulur tapasnya, pinang letih lusuh merayu. Buluh gading melepas kainnya, layu merana tak ada hentinya.
Sedih mata memandang, tak berdaya untuk menyembuhkannya. Kecuali menanti Hayam Wuruk sumber hidup segala makhluk. Beliau masyhur bagai raja utama, bijak memperbaiki jagat. Pengasih bagi yang menderita sedih, sungguh titisan Bhatara.
Tersebut lagi, paginya Baginda berkunjung ke Candi Kidal. Sesudah menyembah Bhatara, larut hari berangkat ke Jajago. Habis menyembah arca Jina, beliau berangkat ke penginapan. Paginya menuju Singasari, belum lelah telah sampai Bureng.
Pupuh 38.
Keindahan Bureng: telaga bergumpal air jernih. Kebiru-biruan, ditengah: candi karang bermekala. Tepinya rumah berderet, penuh pelbagai ragam bunga. Tujuan para pelancong penyerap sari kesenangan.
Terlewati keindahannya; berganti cerita narpati. Setelah reda terik matahari, melintas tegal tinggi. Rumputnya tebal rata, hijau mengkilat, indah terpandang. Luas terlihat laksana lautan kecil berombak jurang.
Seraya berkeliling kereta lari tergesa-gesa. Menuju Singasari, segera masuk ke pesanggrahan. Sang pujangga singgah di rumah pendeta Budha, sarjana pengawas candid an silsilah raja, pantas dikunjungi.
Telah lanjut umurnya, jauh melintasi seribu bulan. Setia, sopan, darah luhur, keluarga raja dan masyhur. Meskipun sempurna dalam karya, jauh dari tingkah takabur. Terpuji pekerjaannya, pantas ditiru keinsyafannya.
Tamu mendadak diterima dengan girang dan ditegur: “Wahai, orang bahagia, pujangga besar pengiring raja. Pelindung dan pengasih keluarga yang mengharap kasih. Jamuan apa yang layak bagi paduka dan tersedia?”
Maksud kedatanganya: ingin tahu sejarah leluhur para raja yang dicandikan. Masih selalu dihadap. Ceritakanlah mulai dengan Bhatara Kagenengan. Ceritakan sejarahnya jadi putera Girinata.
Pupuh 39.
Paduka empuku menjawab: “Rakawi Maksud paduka sungguh merayu hati. Sungguh paduka pujangga lepas budi. Tak putus menambah ilmu, mahkota hidup”
Izinkan saya akan segera mulai. Cita disucikan dengan air sendang tujuh. Terpuji Siwa! Terpuji Girinata! Semoga terhindar aral, waktu bertutur.
Semoga rakawi bersifat pengampun. Diantara kata terselip salah. Harap percaya kepada orangtua. Kurang atau lebih janganlah dicela.
Pupuh 40.
Pada tahun Saka Lautan Dasa Bulan (1104) ada raja perwira yuda. Putera Girinata, konon kabarnya, lahir di dunia tanpa ibu. Semua orang tunduk, sujud menyembah kaki bagai tanda bakti. Rangga Rajasa nama beliau, penggempur musuh pahlawan bijak.
Daerah luas sebelah timur Gunung Kawi terkenal subur makmur. Di situlah tempat putera sang Girinata menunaikan darmanya. Menggirangkan budiman, menyirnakan penjahat, meneguhkan Negara. Ibu Negara bernama Kutaraja, penduduknya sangat terganggu.
Tahun Saka Lautan Dadu Siwa (1144) beliau melawan raja Kediri. Sang adiperwira Kretajaya, putus sastra serta tatwopadesa. Kalah ketakutan, melarikan diri ke dalam biara kecil. Semua pengawal dan perwira tentara yang tinggal, mati terbunuh.
Setelah kalah narapati Kediri, Jawa di dalam ketakutan. Semua raja datang menyembah membawa tanda bakti hasil tanah. Bersatu Janggala Kediri dibawah kuasa satu raja sakti. Cikal bakal para raja agung yang akan memerintah Pulau Jawa.
Makin bertambah besar kuasa dan megah putera sang Girinata. Terjamin keselamatan Pulau Jawa selama menyembah kakinya. Tahun Saka Muka Lautan Rudra (1149) beliau kembali ke Siwapada. Dicandikan di Kagenengan bagai Siwa, di Usaha bagai Budha.
0 komentar:
Posting Komentar