Suara Merdeka.com
Solo, CyberNews. Perhatian pemerintah pada upaya penyelamatan naskah-naskah kuno dinilai masih sangat minim. Padahal upaya itu sangat penting, karena menyangkut pemeliharaan peradaban kebudayaan bangsa.
Hal itu diungkapkan pakar digitalisasi dan restorasi naskah kuno, DR Thoralf Hanstein, dosen Universitas Leipzig, Jerman, yang membantu melakukan proses digitalisasi untuk menyelamatkan naskah kuno di Solo, Yogya dan Aceh.
"Kami selama bekerja sendiri, hanya dengan sedikit ada uluran tangan perhatian dari pemerintah. Kami embawa peralatan bahkan dana dari Jerman semata-mata karena kami ingin menyelamatkan warisan peradaban kebudayaan dunia yang ada di Indonesia," kata dia.
Di sela-sela Simposium Internasional Masyarakat Pernaskahan Nasional (Manassa) di Solo, dia mengatakan pihaknya tergerak melakukan penyelamatan naskah kuno di Aceh ketika terjadi tsunami. "Ada ribuan naskah yang bisa kami selamatkan. Naskah-naskah itu kami restorasi dan dikonservasi, setelah bisa diselamatkan dilakukan katalogisasi dan dibuat naskah dalam bentuk digital serta dilakukan back-up agar jika naskah aslinya hilang, masih ada datanya," ujanrya.
Itu memang proses penyelamatan, dan pihaknya membawa peralatan scanner, kamera canggih, serta bahan-bahan merestorasi untuk memperbaiki naskah asli yang masih tersisa. Selesai di Aceh, alat itu kini dibawa ke Yogyakarta.
‘'Saat ini kami mencoba melakukan proses digitalisasi naskah kuno yang ada di Keraton Solo, Yogyakarta, dan Museum Sonobudoyo milik Keraton Yogyakarta. Ada ribuan naskah yang sudah kami proses,'' tandasnya.
Selain milik keraton, ada pula yang milik perorangan. Jika milik personal karena warisan, kadang harus dihadapkan pada kendala sakralisasi naskah itu, sehingga pemiliknya enggan didigitalisasi. "Kalau tidak mau, kami tidak bisa memaksa. Namun kami memberikan pengertian karena naskah itu barang berharga, jika tidak diselamatkan dan dirawat dengan baik, akan hancur dan bangsa ini sangat kehilangan," tandasnya.
Dia hanya berharap ke depan pemerintah lebih tanggap dan bisa lebih intensif memperhatikan upaya penyelamatan tersebut. Misalnya membentuk Pusat Pernaskahan Nusantara. "Adanya lembaga itu sangat penting, karena akan membantu upaya tersebut. Saat ini sudah ada Manassa (Masyarakat Pernaskahan Nusantara) namun dukungan untuk melakukan berbagai kegiatan masih sangat minim.
Dalam rekomendasi yang dihasilkan peserta symposium yang dihadiri ahli pernaskahan dari Kanada, Jerman, Dubai, Malaysia, Singapura, Belanda, dan juga para ahli dari berbagai universitas di Indonesia, ada imbauan senada.
( Joko Dwi Hastanto /CN12 )
Solo, CyberNews. Perhatian pemerintah pada upaya penyelamatan naskah-naskah kuno dinilai masih sangat minim. Padahal upaya itu sangat penting, karena menyangkut pemeliharaan peradaban kebudayaan bangsa.
Hal itu diungkapkan pakar digitalisasi dan restorasi naskah kuno, DR Thoralf Hanstein, dosen Universitas Leipzig, Jerman, yang membantu melakukan proses digitalisasi untuk menyelamatkan naskah kuno di Solo, Yogya dan Aceh.
"Kami selama bekerja sendiri, hanya dengan sedikit ada uluran tangan perhatian dari pemerintah. Kami embawa peralatan bahkan dana dari Jerman semata-mata karena kami ingin menyelamatkan warisan peradaban kebudayaan dunia yang ada di Indonesia," kata dia.
Di sela-sela Simposium Internasional Masyarakat Pernaskahan Nasional (Manassa) di Solo, dia mengatakan pihaknya tergerak melakukan penyelamatan naskah kuno di Aceh ketika terjadi tsunami. "Ada ribuan naskah yang bisa kami selamatkan. Naskah-naskah itu kami restorasi dan dikonservasi, setelah bisa diselamatkan dilakukan katalogisasi dan dibuat naskah dalam bentuk digital serta dilakukan back-up agar jika naskah aslinya hilang, masih ada datanya," ujanrya.
Itu memang proses penyelamatan, dan pihaknya membawa peralatan scanner, kamera canggih, serta bahan-bahan merestorasi untuk memperbaiki naskah asli yang masih tersisa. Selesai di Aceh, alat itu kini dibawa ke Yogyakarta.
‘'Saat ini kami mencoba melakukan proses digitalisasi naskah kuno yang ada di Keraton Solo, Yogyakarta, dan Museum Sonobudoyo milik Keraton Yogyakarta. Ada ribuan naskah yang sudah kami proses,'' tandasnya.
Selain milik keraton, ada pula yang milik perorangan. Jika milik personal karena warisan, kadang harus dihadapkan pada kendala sakralisasi naskah itu, sehingga pemiliknya enggan didigitalisasi. "Kalau tidak mau, kami tidak bisa memaksa. Namun kami memberikan pengertian karena naskah itu barang berharga, jika tidak diselamatkan dan dirawat dengan baik, akan hancur dan bangsa ini sangat kehilangan," tandasnya.
Dia hanya berharap ke depan pemerintah lebih tanggap dan bisa lebih intensif memperhatikan upaya penyelamatan tersebut. Misalnya membentuk Pusat Pernaskahan Nusantara. "Adanya lembaga itu sangat penting, karena akan membantu upaya tersebut. Saat ini sudah ada Manassa (Masyarakat Pernaskahan Nusantara) namun dukungan untuk melakukan berbagai kegiatan masih sangat minim.
Dalam rekomendasi yang dihasilkan peserta symposium yang dihadiri ahli pernaskahan dari Kanada, Jerman, Dubai, Malaysia, Singapura, Belanda, dan juga para ahli dari berbagai universitas di Indonesia, ada imbauan senada.
( Joko Dwi Hastanto /CN12 )
0 komentar:
Posting Komentar