Iklan Anda

Minggu, 21 Agustus 2011

NAGARAKRETAGAMA #1


Judul asli dari manuskrip ini adalah Desawarnana yang artinya Sejarah Desa-Desa. Sejak ditemukan kembali oleh para arkeolog, naskah ini kemudian dinamakan Nagarakretagama. Judul kakawin ini, Nagarakretagama artinya adalah "Negara dengan Tradisi (Agama) yang suci. Nama Nagarakretagama itu sendiri tidak terdapat dalam kakawin Nagarakretagama. Pada pupuh 94/2, Prapanca menyebut ciptaannya Decawarnana atau uraian tentang desa-desa. Namun, nama yang diberikan oleh pengarangnya tersebut terbukti telah dilupakan oleh umum. Kakawin itu hingga sekarang biasa disebut sebagai Nagarakretagama. Nama Nagarakretagama tercantum pada kolofon terbitan Dr. J.L.A. Brandes: Iti Nagarakretagama Samapta. Rupanya, nama Nagarakretagama adalah tambahan penyalin Arthapamasah pada bulan Kartika tahun saka 1662 (20 Oktober 1740 Masehi). Nagarakretagama disalin dengan huruf Bali di Kancana

Naskah ini selesai ditulis pada bulan Aswina tahun Saka 1287 (September – Oktober 1365 Masehi), penulisnya menggunakan nama samaran Prapanca, berdasarkan hasil analisis kesejarahan yang telah dilakukan diketahui bahwa penulis naskah ini adalah Dang Acarya Nadendra , bekas pembesar urusan agama Budha di istana Majapahit. Beliau adalah putera dari seorang  pejabat istana di Majapahit dengan pangkat jabatan Dharmadyaksa Kasogatan. Penulis naskah ini menyelesaikan naskah kakawin Nagarakretagama diusia senja dalam pertapaan di lereng gunung di sebuah desa bernama Kamalasana.

Kakawin Nagarakretagama terdiri dari 98 pupuh, terdiri atas dua bagian. Bagian pertama dimulai dari pupuh 1 – 49. Sedangkan bagian kedua dimulai dari pupuh 50 – 98.

Teks ini semula dikira hanya terwariskan dalam sebuah naskah tunggal yang diselamatkan oleh J.L.A. Brandes, seorang ahli Sastra Jawa Belanda, yang ikut menyerbu istana Raja Lombok pada tahun 1894. Ketika penyerbuan ini dilaksanakan, para tentara KNIL membakar istana dan Brandes menyelamatkan isi perpustakaan raja yang berisikan ratusan naskah lontar. Salah satunya adalah lontar Nagarakretagama ini. Semua naskah dari Lombok ini dikenal dengan nama lontar-lontar Koleksi Lombok yang sangat termasyhur. Koleksi Lombok disimpan di perpustakaan Universitas Leiden Belanda.

Berikut adalah terjemahan lengkapnya dalam Bahasa Indonesia.

Teks terjemahan bebas Kakawin Nagarakretagama :
(pupuh 1 - 20).

Pupuh 1.

Om! Sembah pujiku orang hina ke bawah telapak kaki pelindung jagat. Siwa-Budha Janma-Bhatara senantiasa tenang tenggelam dalam samadi. Sang Sri Prawatanata, pelindung para miskin, raja adiraja di dunia. Dewa-Bhatara, lebih khayal dari yang khayal, tapi tampak di atas tanah.

Merata serta meresapi segala makhluq, nirguna bagi kaum Wisnawa. Iswara bagi Yogi, Purusa bagi Kapila, Hartawan bagi Jambala. Wagindra dalam segala ilmu, Dewa Asmara di dalam cinta berahi. Dewa Yama di dalam menghilangkan penghalang dan menjamin damai dunia.

Begitulah pujian pujangga penggubah sejarah, kepada Sri Nata Rajasanagara, Sri Nata Wilwatikta yang sedang memegang tampuk Negara bagai titisan Dewa-Bhatara beliau menyapu duka rakyat semua. Tunduk setia segenap bumi Jawa, bahkan malah seluruh Nusantara.

Tahun Saka masa memanah surya (1256) beliau lahir untuk jadi narpati. Selama dalam kandungan di Kahuripan, telah tampak tanda keluhuran Gempa bumi, kepul asap, hujan abu, guruh halilintar menyambar-nyambar. Gunung meletus, gemuruh membunuh durjana, penjahat musnah dari Negara.

Itulah tanda bahwa Bhatara Girinata menjelma bagai raja besar terbukti selama bertahta, seluruh Jawa tunduk menadah perintah. Wipra, ksatria, waisya, sudra, keempat kasta sempurna dalam pengabdian. Durjana berhenti berbuat jahat, takut akan keberanian Sri Nata.


Sabtu, 20 Agustus 2011

NAGARAKRETAGAMA #2


(pupuh 21-40).

Pupuh 21.

Fajar menyingsing: berangkat lagi Baginda melalui Lo Pandak, Ranu Kuning, Balerah, Bare-bare, Dawohan, Kapayeman, Telpak, Baremi, Sapang, serta Kasaduran. Kereta berjalan cepat-cepat menuju Pawijungan.

Menuruni Lurah, melintasi sawah, lari menuju Jaladipa, Talapika, Padali, Ambon dan Panggulan. Langsung ke Payaman, Tepasana ke arah Kota Rembang. Sampai di kemirahan yang letakknya di pantai lautan.

Pupuh 22.

Di Dampar dan Patunjungan, Sri Baginda bercengkrama menyisir tepi lautan. Ke jurusan timur turut pesisir darat, lembut limbur di lintas kereta. Berhenti beliau di tepi danau penuh teratai, tunjung sedang berbunga. Asyik memandang udang berenang dalam air tenang memperlihatkan dasarnya.

Terlangkahi keindahan air telaga yang lambai melambai dengan lautan. Danau ditinggalkan menuju Wedi dan Guntur tersembunyi di tepi jalan. Kasogatan Bajraka termasuk wilayah Taladwaja sejak dulu kala. Seperti juga Patunjungan, akibat perang, belum kembali ke asrama.

Terlintas tempat tersebut, ke timur mengikuti hutan sepanjang tepi lautan. Berhenti di Palumbon, berangkat setelah surya laut. Menyeberangi sungai Rabutlawang yang kebetulan airnya sedang surut. Menuruni lurah Balater menuju pantai lautan, lalu bermalam lagi.

Pada waktu fajar menyingsing, menuju Kunir Basini, di Sadeng bermalam. Malam berganti malam Baginda pesiar menikmati alam Sarampuan. Sepeninggalnya beliau menjelang Kota Bacok bersenang-senang di pantai. Heran memandang karang tersiram riak gelombang berpancar seperti hutan.

Tapi sang rakawi tidak ikut berkunjung di Bacok, pergi menyidat jalan. Dari Sadeng ke utara menjelang Balung, terus menuju Tumbu dan Habet. Galagah, Tampaling, beristirahatlah di Renes seraya menanti Baginda. Segera berjumpa lagi dalam perjalanan ke Jayakreta – Wanagriya.

Pupuh 23.

Melalui Doni Bontong, Puruhan, Bacek, Pakisaji, Padangan terus ke Secang. Terlintas Jati Gumelar, Silabango. Ke utara ke Dewa Rame dan Dukun.

Lalu berangkat ke Pakembangan. Di situ bermalam; segera berangkat. Sampailah beliau ke ujung lurah Daya. Yang segera dituruni sampai jurang.

Jumat, 19 Agustus 2011

NAGARAKRETAGAMA #3


(pupuh 41-98).

Pupuh 41.

Bhatara Anusapati, putera Baginda, berganti dalam kekuasaan. Selama pemerintahannya, tanah Jawa kokoh sentosa, bersembah bakti. Tahun Saka Perhiasan Gunung Sambu (1170) beliau pulang ke Siwaloka. Cahaya beliau diwujudkan arca Siwa gemilang di candi makam Kidal.

Bhatara Wisnuwardhana, putera Baginda, berganti dalam kekuasaan. Beserta Narasinga bagai Madawa dengan Indra memerintah serta segenap pengikutnya. Takut semua musuh kepada beliau, sungguh titisan Siwa di Bumi.

Tahun Saka Rasa Gunung Bulan (1176) Bhatara Wisnu menobatkan puteranya. Segenap rakyat Kediri Janggala berduyun-duyun ke pura mangastubagia.

Raja Kertanegara nama gelarannya, tetap demikian seterusnya. Daerah Kutaraja bertambah makmur, berganti nama Praja Singasari.

Tahun Saka Awan Sembilan Mengebumikan Tanah (1192) raja Wisnu berpulang. Dicandikan di Waleri berlambang arca Siwa, di Jajago arca Budha. Sementara itu Bhatara Narasingamurti pun pulang ke Surapada. Dicandikan di Wengker, di Kumeper  diarcakan bagai Siwa Mahadewa.

Tersebutlah Sri Baginda Kertanegara membinasakan perusuh penjahat. Bernama Cayaraja, musnah pada tahun Saka naga mengalahkan bulan (1192). Tahun Saka naga bermuka rupa (1197) Baginda menyuruh menundukkan Melayu. Berharap Melayu takut kedewaan beliau tunduk begitu sahaja.

Pupuh 42.

Tahun Saka janma suny surya (1202) Baginda raja memberantas penjahat Mahisa Rangga, karena jahat tingkahnya dibenci seluruh Negara. Tahun Saka badan langit surya (1206) mengirim utusan menghancurkan Bali. Setelah kalah rajanya menghadap Baginda sebagai seorang tawanan.

Begitulah dari empat penjuru orang lari berlindung dibawah Baginda. Seluruh Pahang, segenap Melayu tunduk menekur dihadapan beliau. Seluruh Gurun, segenap Bakulapura lari mencari perlindungan. Sunda Madura tak perlu dikatakan, sebab sudah terang setanah Jawa.

Jauh dari tingkah alpa dan congkak, Baginda waspada tawakal dan bijak. Faham akan segala seluk beluk pemerintahan sejak zaman Kali. Karenanya, tawakal dalam agama dan tapa untuk teguhnya ajaran Budha. Menganut jejak para leluhur demi keselamatan seluruh praja.


Kamis, 11 Agustus 2011

ALQURAN KUNO BERUSIA 77 TAHUN DITEMUKAN DI MUSEUM RADYA PUSTAKA


Berbahasa Belanda, Ada Jejak Ahmadiyah di Sampulnya

Selama puluhan tahun, Alquran kuno baru ditemukan di Museum Radya Pustaka, Solo. Alquran tua itu, terindikasi ada jejak Ahmadiyah masuk Indonesia sudah lama, karena ada bukti di sampulnya.
 
-----------------------------------------------------------------------------

Pria paruh baya, berkemeja batik itu, membukakan sebuah kitab kuno di museum Radya Pustaka, Solo, Kamis (4/8) siang. Dengan hati-hati, Sandjata, pria yang menjabat Ketua Komite Museum Radya Pustaka itu membuka lembar demi lembar kitab itu agar tidak rusak.

Di dalamnya, terlihat dua tulisan dengan aksara asing. Satunya aksara berbahasa Belanda, di sampingnya berbahasa Arab. Kitab kuno itu ternyata, Alquran dengan terjemahan bahasa Belanda.

Ketika dibuka, Alquran berbahasa Belanda ini dibuat tahun 1934 dengan tulisan De Heilige Qoer-an. Koleksi Alquran kuno ini, hanya ada satu di museum Radya Pustaka dengan kode koleksi 666. Entah sejak kapan, Alquran kuno itu tersimpan di Museum Radya Pustaka, karena pihak pengelolanya sendiri tidak mengetahuinya.

Kondisi Alquran itu secara umum masih bagus, hanya beberapa halaman di dalamnya sudah terlepas. Warna kertasnya kuning agak kecokelatan. Ketua Komite Museum Radya Pustaka, Sandjata, tidak bisa menjelaskan secara rinci, kapan Alquran tua itu masuk ke museum dan siapa yang membawanya.

Karena, kitab suci umat muslim itu, baru ditemukan tahun 2009 lalu oleh mahasiswa Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS) yang sedang menjalankan tugas Praktik Kuliah Lapangan (PKL) di museum. Penemuannya pun tidak sengaja, karena kitab suci berusia 77 tahun itu, awal ditemukan di gudang.

”Susah menjelaskan kapan kitab itu masuk ke sini. Mungkin saja kitab itu dibawa orang Belanda, karena bangunan museum ini dulunya bangunan Belanda,” kata Sandjata, kemarin.

Ada yang aneh, pada sampul bagian dalam pada Alquran kuno itu. Pada sampul dalam tertulis ”Hielige Qoer-an, van Maulwi Moehammad Ali MA LLB”. Yang mengejutkan, ada kata-kata yang menunjukkan jejak Ahmadiyah di halaman itu. Jejak itu terbaca, persis di bawah nama van Maulwi Moehammad Ali MA LLB. Tulisannya adalah ”Voorziter Ahmedijah Andjoeman-Isjaat-I-Islam, Lahore, Voor-Indie.”

Tidak jauh dari kata-kata yang menunjukkan jejak Ahmadiyah, ada lagi tulisan ”Uitgegeven Door: Het Hoofdcomite Qoer-Anfonds Onder de Auspicien Van de Ahamadijah Beweging Indonesia (Centrum Lahore) 1934.”


Kurang Dana, Ratusan Manuskrip di Museum Sribaduga Tak Terawat

Sebanyak seratus lebih naskah kuno yang dimiliki oleh Museum Sribaduga belum terawat dengan baik akibat kekurangan dana,  sejak diberlakukannya otonomi daerah. Ongkos ideal perawatan naskah kuno itu mencapai puluhan juta rupiah, untuk jenis naskah yang tidak terlalu tebal. Menurut Pamong Budaya Madya Pembinaan dan Pengelolaan Naskah Kuno Museum Sribaduga, Sri Mulyati saat ini Museum Sribaduga hanya bisa melakukan perawatan ala kadarnya. Dari seratus lebih naskah kuno yang perwatannya kurang itu, empat puluhan naskah bermaterikan tentang agama Islam yang ditulis dengan huruf Arab Pegon.

“Tapi pegon itu bahasanya bahasa daerah. Misalkan bahasanya bahasa Jawa, Sunda, Madura, bahasa apa dia menggunakan aksara arab disebut aksara arab pegon. Kalau jumlahnya itu diperkirakan kalau yang arab itu mungkin ada sekitar, secara kumulatif mungkin sebanyak dua puluh lima persen."

Pamong Budaya Madya Pembinaan dan Pengelolaan Naskah Kuno Museum Sribaduga, Sri Mulyati mengatakan saat ini untuk menjaga keberadaan koleksi naskah kuno yaitu dengan menyimpannya di ruangan bertemperatur khusus. Selain itu, juga melakukan digitalilasi materi naskah kuno.Dia menambahkan kurangnya ongkos pemeliharaan koleksi naskah kuno di Museum Sribaduga, menyebabkan sejumlah naskah dan barang seni rupa bersejarah terancam rusak.


Sumber : KBR68H.

NASKAH BERUSIA 400 TAHUN DITEMUKAN DI PAMEKASAN

Kitab Bahrul Lahut di Pesantren Pamekasan.
Naskah kuno dari kitab Bahrul Lahut karya ulama Indonesia, ditemukan di Pamekasan, Madura, Jawa Timur. Kitab yang ditulis tangan itu ditemukan tim peneliti dari Balai Litbang Kantor Kementerian Agama Semarang di Pondok Pesantren Sumber Anyar, Desa Larangan Tokol, Kecamatan Tlanakan, Pamekasan.

“Kalau dilihat dari kertasnya, kitab ini diperkirakan ditulis sekira abad ke-17,” ungkap Umi Masfiah, salah seorang peneliti naskah kitab kuno di pesantren itu.

Kondisi kitab karya ulama asal Aceh itu sebagian sudah tidak utuh lagi dan banyak yang berlubang karena dimakan rayap. Ada sekira 80 eksemplar naskah kuno yang ada di Pesantren Sumber Anyar, semuanya ditulis dengan tangan.

“Kalau jenis kitabnya ada sekira 120, dalam satu bagian ada yang terdiri dari lebih dari satu kitab,” kata Ketua Pengurus Perpustakaan Sejarah Pesantren Sumber Anyar, Kholis.

Kitab Bahrul Lahut membahas tentang filsafat Ketuhanan di antara kitab dalam naskah-naskah kuno yang ada di perpustakaan itu. “Bahrul Lahut itu artinya samudera Ketuhanan,” terang Kholis.

Kitab ini sempat diklaim sebagai karya ulama Malaysia, karena menggunakan bahasa Melayu. Namun kitab ini sebenarnya buah karya ulama Indonesia asal Aceh.

Selain Bahrul Lahut juga ditemukan naskah kitab kuno karya intelektual muslim, Ibnu Arabi berjudul Tuhfatul Mursalah dan Kitabul Waqad atau ilmu astronomi.

Salah satu isi kitab astronomi yang berbahasa Arab ini menjelaskan tentang peredaran bumi, bulan, dan matahari.

Menurut koordinator tim peneliti Balai Litbang Kemenang Semarang Zainul Atfal penelitian naskah kuno ini dilakukan untuk mendalami khazanah ilmu keagamaan di Indonesia.

“Kami memilih pesantren ini sebagai lokasi penelitian karena untuk sementara, naskah kuno terbanyak berada di pesantren ini,” ucap Zainul.

Naskah kuno ditulis di kertas yang terbuat dari kulit kayu dan menggunakan tinta dari daun mimbo. Sebagian lainnya ada yang dibuat menggunakan kertas Eropa. Hal ini dimungkinkan karena naskah-naskah tersebut ditulis dan dicetak di Eropa pada masa itu.

Ini dibuktikan dengan adanya gambar transparan di tengah kertas yang menunjukkan kapan, di mana, serta menggunakan kertas apa naskah-naskah itu ditulis dan dicetak.





Sumber : Okezone.com

PERADABAN JAWA KUNO DI MUSEUM KAILASA

Ilustrasi  Candi di Kawasan  Dieng. Sumber Internet

Benda-benda religius memiliki daya tarik tersendiri bagi sebagian orang. Salah satu tempat benda religius adalah Museum Kailasa Dieng. Di museum ini Anda bisa melacak peradaban Hindu Jawa kuno pada abad ke-7 dan 8 masehi.


Terletak di Gedung Arca Senyawa dan merupakan milik Badan Konservasi Jawa Tengah di Dieng, kecamatan Batur, kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah.


Di kawasan Dieng, Anda juga bisa melihat pemandangan yang indah dan merasakan udara dingin karena dataran tinggi Dieng tidak hanya terkenal dengan peradaban kunonya, tetapi juga pemandangannya yang indah dan alami.


Secara historis, Dieng adalah sebuah situs ritual untuk pengikut agama Hindu. Sampai dengan saat ini, 22 naskah Jawa kuno bercerita tentang Dieng sebagai pusat kegiatan keagamaan. Di sini, Anda juga bisa melihat candi yang berada di dekat Museum.


Ada yang mengatakan bahwa nama candi tersebut diambil dari nama-nama tokoh dalam cerita Mahabarata seperti Arjuna, Bima, kelompok Candi Setyaki, Gatot Kaca, Dwarawati, Sembadra, Kunti, dan Srikandi. Selain candi, Anda juga bisa menemukan patung-patung longgar dekat kompleks candi Dieng seperti Arca Nandi (banteng), simbol Siva dan Mahaguru.


Saat memasuki museum, Anda akan melihat patung-patung antik Dieng. Setelah itu, Anda bisa menaiki tangga ke ruang informasi di mana Anda bisa mendapatkan informasi sebanyak mungkin, seperti sejarah dataran tinggi Dieng dan candi-candinya.


Beberapa panel memberikan informasi tentang kehidupan penduduk setempat mulai dari menceritakan tentang gaya hidup dan pertanian mereka,  informasi tentang masjid lokal, mushola, seni, dan mitos anak bajang. Panel lain menyediakan informasi lebih lanjut tentang dataran tinggi Dieng sebagai pusat kegiatan ritual Hindu dan candi-candi sekitarnya. Dieng diambil dari kata "Di" yang berarti gunung, dan "Hyang" yang berarti Tuhan. Dengan demikian, Dieng berarti gunung tempat tinggal Dewa.


Museum Kailasa diambil dari sebuah nama prasasti yang berarti sebuah gunung yang suci. Museum ini diresmikan oleh Menteri Pariwisata, Jero Wacik, pada tahun 2008. Museum ini dibangun untuk memberikan informasi tentang dataran tinggi Dieng.



Sumber : http://travel.okezone.com

Minggu, 07 Agustus 2011

MULABUKANE DESA POHKUMBANG, KEC. KARANGANYAR

Dek jaman biyen, ana ing sawijining alas ana padhepokan papan dununge pandhita tua kang sekti lan sugih kabisan, tindak-tanduke wicaksana lan sinuyud dening tiyang akathah. Pandhita mau kagungan cantrik utawa murid kinasih kang bagus rupane katelah nama TAKALAN. Takalan mujudake pamuda kang alus bebudene lan seneng tetulung marang wong kang mbutuhake. Ya awit saka bebudene lan tindak-tanduke kang luhur mau, andadekake Takalan minangka murid kinasih lan ditresnani dening gurune kayadene putrane dhewe.

Ana ing sawijining dina, pandhita sekti  mau mrentahake menyang Takalan supaya mudhun saka partapan, saprelu ngamalake sawernaning ngelmu kang wis ditampa dening Takalan sasuwene cumondhok ana ing papan iku. Sadurunge budhal, Takalan nampa wejangan saka gurune kang wicaksana supaya Takalan migunakake ngelmune kanggo tetulung tumrap wong-wong kang mbutuhake.

“Den elinga Takalan, apa kang wus kok tampa ana ing padhepokan kene, aja banjur kok gunakake kanggo tumindak deksiya marang sapadha-padha titah, nanging kogunakake kanggo tetulung tumrap wong kang mbutuhake”, mangkana pangandikane gurune kang pungkasan nalika nguntapake Takalan.

“Inggih ngestokake dhawuh, Bapa!”



----- #ana candhake.

Sabtu, 06 Agustus 2011

DUMADINE DESA CLAPAR, KEC. KARANGGAYAM (jangkep)


Carita dumadine Desa Clapar, wewengkon Kecamatan Karanggayam, Kab. Kebumen miturut wong-wong tuwa ana kana kaya mangkene :
Ilustrasi Tanaman Tembakau yang Tumbuh Subur di Kec. Karanggayam

Diwiwiti nalika taun 1647 ana ing Kraton Mataram (Nalika samana kang mrentah ana ing Mataram yaiku Kangjeng Susuhunan Amangkurat I) ana perang rebut nagara, salah siji Pangeran kang melu ambalela yaiku Pangeran Alit rayine Kangjeng Susuhunan Amangkurat I, prastawa iki dumadi sadurunge ana ontran-ontran Trunajayan. Nalika samana pangamuke Pangeran Alit nggegirisi andadekake akeh padhusunan kang rusak bosah baseh, kalebu 12 dhusun kang salah sijine disesepuhi dening Kyai Lurah Wanaita. Akeh para patinggi desa kang nalika samana kamiweden amarga saka pangamuke Pangeran Alit mau banjur lunga ngoncati babaya golek slamet dhewe-dhewe.

Nalika kuwi Kyai Lurah Wanaita uga oncat lan mlayu golek slamet, nganti tekan sawijining alas kang banjur dibabat didadekake padhusunan. Suwe-suwe papan mau dadi rame, akeh wong-wong saka desa liya kang manggon ana kana. Awit para warga padhusunan mau racake/akeh-akehe nyambut gawe olah tetanen lan nyebar winih sawernaning tetanduran, mula desa anyar mau banjur katelah nama desa PAWINIHAN.

Desa  Pawinihan kalakon dadi desa kang reja, kabeh tetuwuhan bisa thukul ana kana. Nuju sawijining dina Desa Pawinihan ketaman sawijining penyakit kang mbebayani kang disebabake dening para lalembut utawa siluman. Wong-wong nalika samana ngarani prastawa mau PAGEBLUG. Esuk nandang lara, banjur sore utawa wengi wis tumeka ing pati. Sore utawa wengi ketaman lara, isuk banjur mati. Nganti warga ana kana meh entek ketaman penyakit mau utawa dipangan dening para danyang utawa lalembut kang ngreridhu desa Pawinihan.

Nusantara nalika samana pancen lagi akeh prakara, awit saka panjajahan Walanda. Ana sawijining paraga kang nduweni kekendelan ambalela marang Walanda yakuwi Untung Surapati kang mengkone ana sesambungane karo dumadine Desa Clapar. Miturut carita wiwitane Untung Surapati ambalela menyang Walanda kaya mangkene :
Nalika jaman samana ana ing Batawiyah utawa Betawi ana bocah umur 7 taun kang ora dimangerteni sapa jeneng asline, bocah mau minangka budak belian kang asale saka Bali lan ditemukake dening Kapiten Van Beber (prawira VOC) nalika ngayahi tugas ana Makassar, Sulawesi Kidul. Kapiten mau banjur ngedol bocal mau menyang prawira VOC liyane yaiku Kapiten Mur amarga kakurangan beaya. Wiwit nalika bocah mau dadi andhahane, karir utawa pangkat lan kasugihane prawira Walanda mau saya mudhak cepet banget. Kapiten Mur nganggep manawa bocah kang ditemokake mau kang menehi ‘kauntungan’ tumrap uripe, sahingga bocah mau banjur dijenengi Untung.
Kapiten Mur duda kagungan putri siji kang umur-umurane padha karo Untung. Jenenge bocah wadon mau Suzanne. Kapiten Mur nenuku Untung supaya anake wadon mau kang wis piatu ditinggal ibune ana sing ngancani kanggo dolanan lan guyon saben dinane. Untung bocah kang pinter srawung, sahingga ora nganti suwe bisa tepung rumaket banget karo Suzanne. Wiwit saka dina iku, bocah sakloron tansah runtang-runtung bebarengan, nalika swasana seneng apadene susah. Sesambungan kang cedhak mau pungkasane nuwuhake winih tresna antarane untung karo Suzanne, nganti bocah loro mau bener-bener ana sesambungan tresna tanpa dimangerteni dening wong tuwane Suzanne utawa kapiten Mur.  

Rabu, 03 Agustus 2011

LEGENDA WATU CEGER , WEWENGKON DESA KAJORAN KEC. KARANGGAYAM.


Wewengkon kecamatan Karanggayam mujudake dhaerah kang saperangan wujud pagununungan/pareden, kalebu ing tlatah Kabupaten Kebumen sisih lor.

Ana ing Desa Kajoran ana sawijing carita kang gawe eram, yaiku dumadine watu kang diarani WATU CEGER’.

Caritane mangkene :

Nalika jaman samana ana ing dhusun Kewao, Desa Karanggayam durung ana gunung sing gedhe. Sahingga andadekake para dewa duwe krenteg kepiye carane bisane ana gunung gedhe bisa manggon ana padhukuhan kana. Suwening suwe para dewa nganakake parepatan, ngrembug bab anggone arep gawe gunung gedhe ana desa kana. Mupakating para dewa banjur sarujuk menawa dina iku uga arep dileksanakake anggone arep gawe gunung.

Wiwit saka watu-watu kang gedhe banget diangkut/ digawa dening para dewa mau. Kang gawe eram anggone nggawa watu-watu mau ora nggunakake piranti kang samestine nanging nggunakake kayu sing diarani kayu tepus. Kayu tepus iki wujude kayadene wit laos nanging kayu tepus kang digunakake dening para dewa mau kayu tepus kang ukurane gedhe.

Nalika para dewa lagi sengkut anggone nyambut gawe nggawa watu-watu gedhe mau, dumadakan padha sanalika kaget amarga ngepasi meh wektune gagatrahina kira-kira jam 3 isuk wis ana salah siji warga desa kang tangi lan makarya kaya biasane yakuwi nenun lawe/benang sing digawe saka kapas. Amarga para dewa mau wedi kadenangan warga sing wis tangi mau, mula anggone nyambut gawe ngangkuti watu-watu gedhe mau ora dibacutake maneh. Banjur ngumpulake piranti sing dianggo kanggo nyambut gawe mau dadi siji, lan bali menyang kahyangan dene watu gedhe sing lagi digawa lan mapan ana ing satengahnig kali di tinggal semprung ngono bae.

Sedang Membaca

free counters

Iklan Anda