Judul asli dari manuskrip ini adalah Desawarnana yang artinya Sejarah Desa-Desa. Sejak ditemukan kembali oleh para arkeolog, naskah ini kemudian dinamakan Nagarakretagama. Judul kakawin ini, Nagarakretagama artinya adalah "Negara dengan Tradisi (Agama) yang suci. Nama Nagarakretagama itu sendiri tidak terdapat dalam kakawin Nagarakretagama. Pada pupuh 94/2, Prapanca menyebut ciptaannya Decawarnana atau uraian tentang desa-desa. Namun, nama yang diberikan oleh pengarangnya tersebut terbukti telah dilupakan oleh umum. Kakawin itu hingga sekarang biasa disebut sebagai Nagarakretagama. Nama Nagarakretagama tercantum pada kolofon terbitan Dr. J.L.A. Brandes: Iti Nagarakretagama Samapta. Rupanya, nama Nagarakretagama adalah tambahan penyalin Arthapamasah pada bulan Kartika tahun saka 1662 (20 Oktober 1740 Masehi). Nagarakretagama disalin dengan huruf Bali di Kancana
Naskah ini selesai ditulis pada bulan Aswina tahun Saka 1287 (September – Oktober 1365 Masehi), penulisnya menggunakan nama samaran Prapanca, berdasarkan hasil analisis kesejarahan yang telah dilakukan diketahui bahwa penulis naskah ini adalah Dang Acarya Nadendra , bekas pembesar urusan agama Budha di istana Majapahit. Beliau adalah putera dari seorang pejabat istana di Majapahit dengan pangkat jabatan Dharmadyaksa Kasogatan. Penulis naskah ini menyelesaikan naskah kakawin Nagarakretagama diusia senja dalam pertapaan di lereng gunung di sebuah desa bernama Kamalasana.
Kakawin Nagarakretagama terdiri dari 98 pupuh, terdiri atas dua bagian. Bagian pertama dimulai dari pupuh 1 – 49. Sedangkan bagian kedua dimulai dari pupuh 50 – 98.
Teks ini semula dikira hanya terwariskan dalam sebuah naskah tunggal yang diselamatkan oleh J.L.A. Brandes, seorang ahli Sastra Jawa Belanda, yang ikut menyerbu istana Raja Lombok pada tahun 1894. Ketika penyerbuan ini dilaksanakan, para tentara KNIL membakar istana dan Brandes menyelamatkan isi perpustakaan raja yang berisikan ratusan naskah lontar. Salah satunya adalah lontar Nagarakretagama ini. Semua naskah dari Lombok ini dikenal dengan nama lontar-lontar Koleksi Lombok yang sangat termasyhur. Koleksi Lombok disimpan di perpustakaan Universitas Leiden Belanda.
Berikut adalah terjemahan lengkapnya dalam Bahasa Indonesia.
Teks ini semula dikira hanya terwariskan dalam sebuah naskah tunggal yang diselamatkan oleh J.L.A. Brandes, seorang ahli Sastra Jawa Belanda, yang ikut menyerbu istana Raja Lombok pada tahun 1894. Ketika penyerbuan ini dilaksanakan, para tentara KNIL membakar istana dan Brandes menyelamatkan isi perpustakaan raja yang berisikan ratusan naskah lontar. Salah satunya adalah lontar Nagarakretagama ini. Semua naskah dari Lombok ini dikenal dengan nama lontar-lontar Koleksi Lombok yang sangat termasyhur. Koleksi Lombok disimpan di perpustakaan Universitas Leiden Belanda.
Berikut adalah terjemahan lengkapnya dalam Bahasa Indonesia.
Teks terjemahan bebas Kakawin Nagarakretagama :
(pupuh 1 - 20).
Pupuh 1.
Om! Sembah pujiku orang hina ke bawah telapak kaki pelindung jagat. Siwa-Budha Janma-Bhatara senantiasa tenang tenggelam dalam samadi. Sang Sri Prawatanata, pelindung para miskin, raja adiraja di dunia. Dewa-Bhatara, lebih khayal dari yang khayal, tapi tampak di atas tanah.
Merata serta meresapi segala makhluq, nirguna bagi kaum Wisnawa. Iswara bagi Yogi, Purusa bagi Kapila, Hartawan bagi Jambala. Wagindra dalam segala ilmu, Dewa Asmara di dalam cinta berahi. Dewa Yama di dalam menghilangkan penghalang dan menjamin damai dunia.
Begitulah pujian pujangga penggubah sejarah, kepada Sri Nata Rajasanagara, Sri Nata Wilwatikta yang sedang memegang tampuk Negara bagai titisan Dewa-Bhatara beliau menyapu duka rakyat semua. Tunduk setia segenap bumi Jawa, bahkan malah seluruh Nusantara.
Tahun Saka masa memanah surya (1256) beliau lahir untuk jadi narpati. Selama dalam kandungan di Kahuripan, telah tampak tanda keluhuran Gempa bumi, kepul asap, hujan abu, guruh halilintar menyambar-nyambar. Gunung meletus, gemuruh membunuh durjana, penjahat musnah dari Negara.
Itulah tanda bahwa Bhatara Girinata menjelma bagai raja besar terbukti selama bertahta, seluruh Jawa tunduk menadah perintah. Wipra, ksatria, waisya, sudra, keempat kasta sempurna dalam pengabdian. Durjana berhenti berbuat jahat, takut akan keberanian Sri Nata.